Problem Komunikasi Pejabat Negara
Oleh Ahmad Faisol
TV Australia, Nine Network, pada berita edisi 1 April 2007 menayangkan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda.
Menurut Tatang, ada percekcokan pilot dengan kopilot sebelum Garuda 200 celaka pada 7 Maret 2007. Kopilot mengingatkan agar pesawat tidak langsung mendarat dan sebaiknya berputar-putar dahulu karena masih kecepatannya tinggi. Namun, sebaliknya, pilot memutuskan untuk landing. Hal itu mengakibatkan hilangnya konsentrasi saat mendekati landasan (Jawa Pos, 2 April 2007).
Sehari kemudian (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan itu adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan, dia menuduh TV Australia itu memelintir pernyataannya. Dia mengharapkan dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarai dirinya untuk membuktikan pernyataannya.
Menurut saya, contoh tersebut menunjukkan adanya problem komunikasi pejabat kita ketika berhubungan dengan media massa. Sudah banyak contoh bahwa pejabat membantah berita yang memuat pernyataannya.
Kita masih ingat bagaimana Menristek Kusmayanto Kadiman yang juga membantah pemberitaan Associated Press (AP). Saat itu, Menristek diberitakan menerima peringatan sesaat sebelum terjadi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Tak ayal lagi, Menristek dibombardir di sana sini akibat kelalaiannya tersebut. Menristek kemudian sibuk menjelaskan bahwa berita itu tidak benar.
Bahkan, dia berencana mengirimkan somasi kepada media Amerika yang memberitakan pernyataannya. Namun, akhirnya berita itu hilang ditelan persoalan lain.
Kredibilitas Pejabat
Dua contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa problem komunikasi media pejabat publik berada pada kesiapan mereka ketika melayani rentetan pertanyaan media. Pejabat publik pasti akan menjadi incaran wartawan untuk dijadikan sumber berita. Apalagi, media massa lebih mengutamakan aspek prominence (keterkenalan) ketika memilih sumber berita.
Terlebih jika pejabat tersebut memiliki kompetensi tinggi dalam sebuah peristiwa. Misalnya, jabatan Tatang Kurniadi sebagai ketua KNKT yang memegang kunci pengungkapan kasus kecelakaan transportasi.
Jika pejabat publik siap menghadapi serbuan media, tentunya kegiatan membantah berita media tak perlu mereka lakukan. Kesiapan itu, misalnya, harus mengetahui batas-batas yang boleh dibuka kepada publik dan yang tidak boleh diekspose. Jangan sampai pejabat terjebak pertanyaan wartawan sehingga keceplosan memberikan jawaban.
Seperti kasus ketua KNKT itu. Jika memang hasil investigasi KNKT tidak boleh dibuka, berarti apa yang dilakukan Tatang Kurniadi adalah sebuah keceplosan.
Di sini seorang pejabat harus menyadari bahwa ketika berbicara kepada wartawan, hakikatnya dia berbicara dengan publik. Media berhak memberitakan apa yang mereka sampaikan. Kecuali, pejabat itu sejak awal sudah memberikan penegasan pernyataannya adalah pernyataan off the record. Karena itu, pejabat publik harus benar-benar mempersiapkan diri ketika memberikan pernyataan melalui media.
Pejabat juga harus menyadari bahwa pemberitaan media tidak mudah untuk dicabut dan diluruskan kembali. Memang, sebuah berita dapat dibantah atau dikonter dengan berita berikutnya. Tapi, bukan berarti serta merta akan menutup berita yang dilansir sebelumnya. Tidak ada jaminan orang yang telah mengetahui berita sebelumnya juga akan membaca berita bantahan. Apalagi jika opini publik sudah terbentuk.
Kondisi itu akan berimplikasi kepada kredibilitas sang pejabat dan informasi yang dia berikan. Jika dia selalu membantah pernyataan yang telah dikemukakan sendiri, publik akan dapat menilai pejabat tersebut tidak konsisten. Alih-alih meluruskan berita bisa-bisa dia akan mendapat cap mencla-mencle dari masyarakat.
Mekanisme Ombudsman Media
Ini membawa kita pada problem komunikasi media pejabat kita yang kedua, yaitu tidak adanya kesiapan ketika harus memulihkan kredibilitasnya di mata publik. Pejabat tidak memiliki sebuah strategi komunikasi ketika berhadapan dengan media.
Jika memang ketua KNKT merasa tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang diberitakan TV Australia, seharusnya dia aktif melakukan strategi komunikasi media, bukannya pasif menunggu ditanya media. Akan lebih baik jika ketua KNKT berinisiatif melakukan jumpa pers atau mengirimkan siaran pers ketimbang hanya menunggu konfirmasi wartawan.
Faktanya, ketika ketua KNKT pasif, publik tidak mudah mempercayai bantahan yang dia berikan. Terlebih bukti pernyataan yang dia sampaikan kepada TV Australia sangat mudah didapatkan. Publik pun akan mudah menilai apakah ketua KNKT berbohong atau tidak.
Dalam kondisi demikian, ketua KNKT seharusnya menempuh prosedur lain yang lebih elegan, yaitu membuat pengaduan kepada ombudsman media yang bersangkutan. Prosedur itu akan membuktikan apakah pernyataan ketua KNKT yang dimuat TV Australia benar atau sebuah rekayasa belaka. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi, termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.
Bagi media, mekanisme ombudsman itu akan menjadi pertanggungjawaban dirinya kepada publik. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Ombudsman memungkinkan media menjaga kepercayaan publik.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta
Wednesday, April 11, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment