Menjelang Berakhirnya Masa Jabatan Anggota KPI:
Harapan Untuk KPI
Ahmad Faisol
Tidak terasa masa jabatan pengurus KPI Pusat sudah hampir berakhir. Pendaftaran untuk calon anggota KPI Pusat yang baru sudah dibuka sampai akhir bulan Agustus ini. Kita memang belum tahu siapa sosok-sosok yang ikut mencalonkan diri menjadi anggota KPI. Kita juga belum tahu apakah anggota KPI yang lama mencalonkan diri atau tidak. Namun kita perlu merenungkan kembali apa yang telah dilakukan KPI dalam periode jabatan yangh kemarin.
Hal ini perlu dilakukan mengingat KPI merupakan institusi yang dilahirkan dan mendapatkan mandat dari UU nomer 32 tahun 2002 tentang penyiaran (UU Penyiaran) untuk menciptakan terbentuknya system penyiaran yang demokratis. Mandat ini sekaligus menugaskan KPI untuk menjamin system penyiaran yang terbangun selalu bersifat demokratis dalam arti berpihak kepada kepentingan public. Sebab, frekuensi yang menjadi basis material stasiun penyiaran merupakan ranah public yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan public. Maka, ketika kita merenungkan perjalanan KPI kita harus selalu mengacu kepada pertanyaan sudahkah KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis? Lalu jika sudah, mampukah KPI menjaga system penyiaran yang sudah mereka bangun?
Sistem Penyiaran Dalam UU Penyiaran
Menilai apakah KPI sudah menciptakan system penyiaran yang demokratis, kita harus melihat bagaimana system penyiaran yang diamanatkan oleh UU Penyaiaran. Dalam undang-undang tersebut berusaha mendemokratiskan system penyiaran dengan menciptakan keragaman informasi melalui stasiun penyiaran local. Ini sebagai antitesa dari system penyiaran saat ini khususnya televise yang lebih bersifat sentralistik Hampir seluruh stasiun televise yang ada adalah televise nasional. Dengan system penyiaran local maka ada harapan untuk mendobrak homogenisasi tayangan Ketika salah satu stasiun TV sukses dengan ajang pencarian bibit penyanyi, TV lain meniru dengan format yang sama hanya jenis musiknya yang berbeda. Begitu pula dengan kesuksesan tayangan sinetron bernuansa religi segera ditiru oleh stasiun TV lain sehingga sinetron religi membanjiri dunia layar kaca. Tidak hanya tayangan hiburan, tayangan jurnalistik pun dihinggapi gejala serupa. Tayangan berita politik yang hangat, sensasional dan menggebu-gebu menjadi menu seragam di seluruh stasiun televisi. Mereka memberitakan hal yang sama dengan perspektif dan gaya penyajian yang sama pula. Ketika tayangan berita kriminal dianggap sukses, tidak ada satu stasiun televisi pun yang tidak membuat program berita kriminal.
Selain mewajibkan stasiun penyiaran berbasis local, untuk menjaga keragaman informasi yang diperoleh oleh public UU Penyiaran juga membagi stasiun penyiaran menjadi empat yaitu: stasiun penyiaran swasta, stasiun penyiaran public, system penyiaran komunitas, dan stasiun penyiaran berlangganan. Pembagian ini diharapkan menerobos dominasi rating sebagai parameter tayangan. Dengan karakteristik stasiun penyiaran yang berbeda seluruh masyarakat dengan berbagai keragamannya akan dapat terlayani oleh stasiun penyiaran. Tidak seperti selama ini dimana hanya tayangan yang memiliki rating tinggi dan mampu mendatangkan pemasukan iklan lah yang akan ditayangkan. Sesuatu yang wajar sebenarnya mengingat stasiun penyiaran yang ada adalah stasiun penyiaran swasta dimana mereka menggantungkan hidupnya dari pemasukan iklan yang ada.
Menengok Kiprah KPI
Sejak dibentuk tahun 2003, KPI tidak serta-merta dapat melaksanakan tugasnya menciptakan system penyiaran demokratis seperti diamanatkan UU Penyiaran di atas. Malah dapat dikatakan dalam periode empat tahun ini, KPI terutama KPI PUsat serasa menempuh jalan terjal. Secara kelembagaan, mereka harus menata internalnya sendiri seperti menata infrastruktur organisasi dan menangani pembentukan KPI Daerah (meski yang memilih DPRD Propinsi dan Gubernur). Di sini ketegangan KPI dan Depkominfo (dulu Menegkominfo) sudah terjadi. Dukungan Depkominfo terhadap KPI di awal masa pembentukannya dari sisi anggaran sangatlah minim. Bahkan selama setahun pertama anggota KPI tidak mendapatkan gaji meski kemudian itu dirapel di tahun kedua. Tapi, hal itu telah menyebabkan kurang maksimalnya kinerja KPI.
Konflik dengan Depkominfo nampaknya terus terjadi dalam perjalanan KPI kemarin. Selain minimnya anggaran, KPI dan Depkominfo memperebutkan kewenangan perijinan. Konflik yang bermula dari keluarnya PP Penyiaran yang mengebiri kewenangan KPI dalam mengatur stasiun penyiaran khususnya dalam hal perijinan. Saking kerasnya, konflik inipun menyeret keterlibatan Komisi I DPR dan kalangan masyarakat sipil. Sebagian besar mereka menyayangkan keluarnya PP Penyiaran ini.
Selain Depkominfo, kalangan industri juga mempersoalkan eksistensi KPI. Mereka sempat mengajukan judicial review UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) dimana salah satu permohonannya adalah menghapus keberadaan KPI. Meski MK kemudian meneguhkan eksistensi KPI, namun sudah terjadi ketegangan KPI dengan industri penyiaran sebagai pihak yang mereka atur.
Habisnya energi KPI untuk menghadapi hal di atas, telah menyebabkan kurang maksimalnya upaya KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis. Dari sekian banyak regulasi yang harus dibuat KPI yang paling dikenal public mungkin peraturan KPI mengenai standar pedoman perilaku penyiaran. Namun dari sisi keragaman informasi melalui system penyiaran berbasis local dan karakteristik penyiaran yang berbeda tidak tersentuh oleh KPI. Memang, sekarang sudah banyak stasiun penyiaran local. Namun keberadaan mereka telah ada sejak sebelum KPI lahir. Stasiun penyiaran local bahkan ikut mendorong lahirnya UU Penyiaran yang artinya ikut mendorong lahirnya KPI. Selain itu, keberadaan stasiun penyiaran local didominasi oleh stasiun penyiaran swasta. Kita pantas untuk khawatir melihat fenomena ini. Oleh karena bukan tidak mungkin problem keseragaman yang terjadi pada stasiun penyiaran nasional akan bergeser. Tentunya, sebagai stasiun televisi swasta mereka akan menerapkan prinsip serupa. Tayangan apa yang menjadi top rating pasti akan dijiplak demi mendapatkan iklan. Bahkan jika tayangan top rating merupakan tayangan stasiun TV nasional, mereka pasti tidak segan mengadopsi dalam versi lokal. Atau jika ada salah satu tayangan sebuah TV lokal dianggap sukses, bukan tidak mungkin TV lokal di daerah lain akan menirunya. Apabila ini terjadi, bukan hanya keseragaman yang muncul, tapi content lokal pun akan menghilang. Lokalitas pun hanya menjadi impian.
Bahkan untuk menciptakan stasiun penyiaran local langkah Depkominfo sedikit lebih maju. Depkominfo berencana untuk “memaksa” stasiun penyiaran nasional melakukan merger guna memberikan alokasi frekuensi kepada stasiun penyiaran local. Padahal bagi stasiun penyiaran swasta yang bersifat komresial, merger atau tidak hanya didasarkan pada pertimbangan bisnis.
Harapan KPI Ke Depan
Ke depan, tentunya kita berharap KPI dapat memfokuskan upayanya menciptakan system penyiaran yang demokratis. KPI diharapkan bukan hanya sekedar “menciptakan” stasiun penyiaran local namun lebih dari itu KPI harus mendorong adanya representasi empat karakteristik stasiun penyiaran seperti dimanatkan UU Penyiaran. Adanya stasiun penyiaran dalam semua krakteristik selain akan mampu menjawab problem keseragaman, juga akan menjawab persoalan pendidikan public oleh stasiun penyiaran. Kehadiran stasiun penyiaran dengan ragam karakteristiknya diharapkan menjadi penuntun bagi masyarakat yang dia layani, agar tercipta masyarakat yang mampu membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi.
Harapan lain dalam menciptakan stasiun penyiaran demokratis adalah kemampuan KPI untuk mendorong adanya “self regulation” di kalangan stasiun penyiaran. Ini yang belum dilakukan oleh KPI. Malah KPI berusaha mengatur content televise dengan membuat peraturan mengenai standar perilaku penyiaran. Seharusnya KPI tidak mengatur content stasiun penyiaran akan tetapi lebih mendorong bagaimana stasiun penyiaran mengatur dirinya sendiri dalam hal standar tayangan televise. Sehingga dalam system penyiaran akan ada semacam “dewan pers” di media cetak yang menjadi tempat masyarakat untuk menyalurkan pengaduannya terhadsap tayangan televise.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta
.
Harapan Untuk KPI
Ahmad Faisol
Tidak terasa masa jabatan pengurus KPI Pusat sudah hampir berakhir. Pendaftaran untuk calon anggota KPI Pusat yang baru sudah dibuka sampai akhir bulan Agustus ini. Kita memang belum tahu siapa sosok-sosok yang ikut mencalonkan diri menjadi anggota KPI. Kita juga belum tahu apakah anggota KPI yang lama mencalonkan diri atau tidak. Namun kita perlu merenungkan kembali apa yang telah dilakukan KPI dalam periode jabatan yangh kemarin.
Hal ini perlu dilakukan mengingat KPI merupakan institusi yang dilahirkan dan mendapatkan mandat dari UU nomer 32 tahun 2002 tentang penyiaran (UU Penyiaran) untuk menciptakan terbentuknya system penyiaran yang demokratis. Mandat ini sekaligus menugaskan KPI untuk menjamin system penyiaran yang terbangun selalu bersifat demokratis dalam arti berpihak kepada kepentingan public. Sebab, frekuensi yang menjadi basis material stasiun penyiaran merupakan ranah public yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan public. Maka, ketika kita merenungkan perjalanan KPI kita harus selalu mengacu kepada pertanyaan sudahkah KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis? Lalu jika sudah, mampukah KPI menjaga system penyiaran yang sudah mereka bangun?
Sistem Penyiaran Dalam UU Penyiaran
Menilai apakah KPI sudah menciptakan system penyiaran yang demokratis, kita harus melihat bagaimana system penyiaran yang diamanatkan oleh UU Penyaiaran. Dalam undang-undang tersebut berusaha mendemokratiskan system penyiaran dengan menciptakan keragaman informasi melalui stasiun penyiaran local. Ini sebagai antitesa dari system penyiaran saat ini khususnya televise yang lebih bersifat sentralistik Hampir seluruh stasiun televise yang ada adalah televise nasional. Dengan system penyiaran local maka ada harapan untuk mendobrak homogenisasi tayangan Ketika salah satu stasiun TV sukses dengan ajang pencarian bibit penyanyi, TV lain meniru dengan format yang sama hanya jenis musiknya yang berbeda. Begitu pula dengan kesuksesan tayangan sinetron bernuansa religi segera ditiru oleh stasiun TV lain sehingga sinetron religi membanjiri dunia layar kaca. Tidak hanya tayangan hiburan, tayangan jurnalistik pun dihinggapi gejala serupa. Tayangan berita politik yang hangat, sensasional dan menggebu-gebu menjadi menu seragam di seluruh stasiun televisi. Mereka memberitakan hal yang sama dengan perspektif dan gaya penyajian yang sama pula. Ketika tayangan berita kriminal dianggap sukses, tidak ada satu stasiun televisi pun yang tidak membuat program berita kriminal.
Selain mewajibkan stasiun penyiaran berbasis local, untuk menjaga keragaman informasi yang diperoleh oleh public UU Penyiaran juga membagi stasiun penyiaran menjadi empat yaitu: stasiun penyiaran swasta, stasiun penyiaran public, system penyiaran komunitas, dan stasiun penyiaran berlangganan. Pembagian ini diharapkan menerobos dominasi rating sebagai parameter tayangan. Dengan karakteristik stasiun penyiaran yang berbeda seluruh masyarakat dengan berbagai keragamannya akan dapat terlayani oleh stasiun penyiaran. Tidak seperti selama ini dimana hanya tayangan yang memiliki rating tinggi dan mampu mendatangkan pemasukan iklan lah yang akan ditayangkan. Sesuatu yang wajar sebenarnya mengingat stasiun penyiaran yang ada adalah stasiun penyiaran swasta dimana mereka menggantungkan hidupnya dari pemasukan iklan yang ada.
Menengok Kiprah KPI
Sejak dibentuk tahun 2003, KPI tidak serta-merta dapat melaksanakan tugasnya menciptakan system penyiaran demokratis seperti diamanatkan UU Penyiaran di atas. Malah dapat dikatakan dalam periode empat tahun ini, KPI terutama KPI PUsat serasa menempuh jalan terjal. Secara kelembagaan, mereka harus menata internalnya sendiri seperti menata infrastruktur organisasi dan menangani pembentukan KPI Daerah (meski yang memilih DPRD Propinsi dan Gubernur). Di sini ketegangan KPI dan Depkominfo (dulu Menegkominfo) sudah terjadi. Dukungan Depkominfo terhadap KPI di awal masa pembentukannya dari sisi anggaran sangatlah minim. Bahkan selama setahun pertama anggota KPI tidak mendapatkan gaji meski kemudian itu dirapel di tahun kedua. Tapi, hal itu telah menyebabkan kurang maksimalnya kinerja KPI.
Konflik dengan Depkominfo nampaknya terus terjadi dalam perjalanan KPI kemarin. Selain minimnya anggaran, KPI dan Depkominfo memperebutkan kewenangan perijinan. Konflik yang bermula dari keluarnya PP Penyiaran yang mengebiri kewenangan KPI dalam mengatur stasiun penyiaran khususnya dalam hal perijinan. Saking kerasnya, konflik inipun menyeret keterlibatan Komisi I DPR dan kalangan masyarakat sipil. Sebagian besar mereka menyayangkan keluarnya PP Penyiaran ini.
Selain Depkominfo, kalangan industri juga mempersoalkan eksistensi KPI. Mereka sempat mengajukan judicial review UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) dimana salah satu permohonannya adalah menghapus keberadaan KPI. Meski MK kemudian meneguhkan eksistensi KPI, namun sudah terjadi ketegangan KPI dengan industri penyiaran sebagai pihak yang mereka atur.
Habisnya energi KPI untuk menghadapi hal di atas, telah menyebabkan kurang maksimalnya upaya KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis. Dari sekian banyak regulasi yang harus dibuat KPI yang paling dikenal public mungkin peraturan KPI mengenai standar pedoman perilaku penyiaran. Namun dari sisi keragaman informasi melalui system penyiaran berbasis local dan karakteristik penyiaran yang berbeda tidak tersentuh oleh KPI. Memang, sekarang sudah banyak stasiun penyiaran local. Namun keberadaan mereka telah ada sejak sebelum KPI lahir. Stasiun penyiaran local bahkan ikut mendorong lahirnya UU Penyiaran yang artinya ikut mendorong lahirnya KPI. Selain itu, keberadaan stasiun penyiaran local didominasi oleh stasiun penyiaran swasta. Kita pantas untuk khawatir melihat fenomena ini. Oleh karena bukan tidak mungkin problem keseragaman yang terjadi pada stasiun penyiaran nasional akan bergeser. Tentunya, sebagai stasiun televisi swasta mereka akan menerapkan prinsip serupa. Tayangan apa yang menjadi top rating pasti akan dijiplak demi mendapatkan iklan. Bahkan jika tayangan top rating merupakan tayangan stasiun TV nasional, mereka pasti tidak segan mengadopsi dalam versi lokal. Atau jika ada salah satu tayangan sebuah TV lokal dianggap sukses, bukan tidak mungkin TV lokal di daerah lain akan menirunya. Apabila ini terjadi, bukan hanya keseragaman yang muncul, tapi content lokal pun akan menghilang. Lokalitas pun hanya menjadi impian.
Bahkan untuk menciptakan stasiun penyiaran local langkah Depkominfo sedikit lebih maju. Depkominfo berencana untuk “memaksa” stasiun penyiaran nasional melakukan merger guna memberikan alokasi frekuensi kepada stasiun penyiaran local. Padahal bagi stasiun penyiaran swasta yang bersifat komresial, merger atau tidak hanya didasarkan pada pertimbangan bisnis.
Harapan KPI Ke Depan
Ke depan, tentunya kita berharap KPI dapat memfokuskan upayanya menciptakan system penyiaran yang demokratis. KPI diharapkan bukan hanya sekedar “menciptakan” stasiun penyiaran local namun lebih dari itu KPI harus mendorong adanya representasi empat karakteristik stasiun penyiaran seperti dimanatkan UU Penyiaran. Adanya stasiun penyiaran dalam semua krakteristik selain akan mampu menjawab problem keseragaman, juga akan menjawab persoalan pendidikan public oleh stasiun penyiaran. Kehadiran stasiun penyiaran dengan ragam karakteristiknya diharapkan menjadi penuntun bagi masyarakat yang dia layani, agar tercipta masyarakat yang mampu membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi.
Harapan lain dalam menciptakan stasiun penyiaran demokratis adalah kemampuan KPI untuk mendorong adanya “self regulation” di kalangan stasiun penyiaran. Ini yang belum dilakukan oleh KPI. Malah KPI berusaha mengatur content televise dengan membuat peraturan mengenai standar perilaku penyiaran. Seharusnya KPI tidak mengatur content stasiun penyiaran akan tetapi lebih mendorong bagaimana stasiun penyiaran mengatur dirinya sendiri dalam hal standar tayangan televise. Sehingga dalam system penyiaran akan ada semacam “dewan pers” di media cetak yang menjadi tempat masyarakat untuk menyalurkan pengaduannya terhadsap tayangan televise.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta
.