Tuesday, March 27, 2007

Menuju Konsumen Televisi Yang Berdaya

Ahmad Faisol


Ada beberapa kejadian menarik berkaitan dengan tayangan televisi. Pertama, Nahdlatul Ulama’ dalam forum bahtsul masa’il berencana mengeluarkan fatwa haram terhadap tayangan infotainment. Meskipun fatwa itu akhirnya tidak diuputuskan dalam forum itu, namun sempat menjadi perbincangan yang cukup hangat di media massa. Kedua, demo yang dilakukan oleh Barisan Muda PAN (BM PAN) ke Trans TV. Mereka memprotes tayangan Selebriti Juga Manusia episode yang dibintangi Gusti Randa dan Nia Paramita karena dianggap mendiskreditkan PAN khususnya Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir. Ketiga, NU mengancam akan memboikot tayangan televisi.

Kita mungkin secara gampang dapat memaknai kejadian tersebut sebagai bentuk intervensi terhadap kreativitas dan kemerdekaan media massa khusunya televisi dalam memberikan tayangan kepada masyarakat. Atau kita juga dapat mengatakan NU atau BM PAN kurang kerjaan karena mengurusi hal yang remeh seperti infotainment dan tayangan sinetron. Padahal masih banyak masalah besar lain yang dihadapi bangsa ini seperti korupsi dan sebagainya. Namun, kita juga dapat memaknai tindakan NU dan BM PAN itu sebagai bentuk berdayanya konsumen televisi dalam relasinya dengan stasiun televisi sebagai produsen acara. Terlebih televisi menggunakan basis material gelombang elektromagnetik yang merupakan ranah publik, sehingga mereka harus selalu mengutamakan kepentingan publik.

Relasi Stasiun Televisi, Konsumen, Pengiklan
Dalam sistem penyiaran swasta, yang mendominasi stasiun penyiaran yang ada di Indonesia, berlaku hukum permintaan dan penawaran yang dapat dilihat dari interaksi antara stasiun televisi, konsumen acara dan pengiklan. Stasiun televisi harus mampu memproduksi acara atau program siaran sesuai dengan selera khalayak sehingga mampu menarik pengiklan. Ini yang menjadi parameter utama sebuah program acara untuk ditayangkan di sebuah stasiun televisi. Jika acara tersebut mampu menyedot pehatian masyarakat untuk menonton maka acara ini akan terus ditayangkan karena otomatis mendatangkan pemasukan iklan. Banyak sedikitnya masyarakat yang menonton cara dilihat melalui rating acara tersebut. Itulah kenapa rating menjadi Tuhan bagi orang TV untuk menentukan acara.

Di sini sebenarnya masyarakat sebagai konsumen televisi memiliki kekuatan untuk menentukan acara seperti apa yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Ada tiga level kekuatan masyarakat. Pertama, masyarakat dapat memilih menggunakan saluran televisi atau saluran non media atau televisi untuk memenuhi kebutuhannya khususnya kebutuhan akan informasi dan hiburan. Kedua, jika memilih saluran televisi, masyarakat dapat memilih saluran televisi mana yang akan mereka tonton dari sekian banyak stasiun televisi yang ada. Ketiga, masyarakat dapat menentukan sebuah acara terus ditayangkan atau tidak dengan pilihannya untuk menonton acara tersebut.

Namun, relasi antara konsumen, stasiun televisi dan pengiklan bukanlah relasi yang setara. Stasiun televisi masih dalam taraf “menjual” masyarakat yang menjadi konsumennya untuk mendatangkan pemasukan iklan yang sebesar-besarnya. Stasiun televisi membutuhkan masyarakat hanya untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang menonton acara tersebut. Dengan kata lain masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek jualan tanpa pernah memperdulikan apakah acara yang mereka tayangkan ini memberi manfaat bagi masyarakat atau tidak.

Belenggu Rating
Stasiun televisi terjebak kepada belenggu rating yang telah menjadi Tuhan dalam mekanisme berjalannya stasiun televisi swasta. Rating hanya melihat banyak-sedikitnya jumlah penonton. Dan pengiklan pun hanya melihat rating acara sebagai pertimbangan utama untuk memutuskan mesang iklan atau tidak. Sehingga ketika tayangan televisi penuh dengan tayangan-tayangan yang dapat dianggap sebagai suatu yang remeh-temeh, tak penting, tak esensial dan tak bermakna bagi publik keseluruhan, stasiun televisi hanya bisa berkilah masyarakat menghendaki hal tersebut yang mereka buktikan dengan tingginya rating acara tersebut.

Berbagai acara televisi memang diisi dengan acara-acara seperti itu. Sinetron, reality show, kuis dan infotainment mengisi sebagian besar slot siaran televisi. Meskipun siaran itu jelas tidak memberikan makna apa-apa bagi publik. Tayangan seperti ini akan semakin mengaburkan mana yang esensial bagi masyarakat dan mana yang tidak. Masyarakat akan semakin susah membedakan mana yang berguna dalam rangka pembentukan karakter bangsa, pendidikan publik dan pencerdasan bangsa. Sebab, energi masyarakat sudah tersedot untuk tayangan remeh-temeh seperti kawin cerai artis, kekhawatiran pacar selingkuh atau tidak serta urusan remeh -temeh lain yang ditayangkan televisi. Sekali lagi, rating menunjukkan tayangan seperti ini sangat digemari oleh masyarakat.

Pemberdayaan Konsumen Televisi
Maka untuk menyeimbangkan relasi antara stasiun televisi, konsumen dan pengiklan harus tercipta sebuah konsumen televisi yang berdaya. Dimana, mereka tidak hanya sebatas mengkonsumsi acara yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi, tapi juga mampu bertindak kritis jika memang acara yang ditayangkan tidak memberikan manfaat apa-apa bagi publik. Sebenarnya aktivitas media watch sudah sangat popular dalam melakukan monitoring, kritik terhadap media, dan advokasi publik. Berbagai hasil pantauan media telah cukup memberikan pencerahan bagi publik dalam menilai kinerja media. Namun sayangnya, aktivitas media watch masih menjadi fenomena elit karena berkembang di kalangan aktivis dan akademisi media, sementara masyarakat cenderung pasif.

Posisi masyarakat sekedar mengetahui hasil monitoring tentang media -mana saja yang tidak professional dan melanggar etika- atau sebatas mengadukan media-media yang tidak professional dan melanggar etika pada institusi yang relevan. Posisi masyarakat harus diperkuat dengan literasi media, yang menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat, dan memaknai serta menyerap pesan media.

Kini, ketika NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia sudah “turun gunung” kita dapat berharap gerakan pemberdayaan konsumen televisi ini menjadi semakin massif. Ancaman NU memboikot tayangan televisi diharapkan menjadi trigger bagi masyarakat lain untuk tidak hanya sekedar menjadi penonton televisi. Ancaman NU ini akan semakin berpengaruh jika ditunjang dengan pemberdayaan di kalangan nahdliyin seluruhnya. Jika ini terjadi, pengelola televisi pun tidak bisa sekedar berkilah masyarat menghendaki tayangan itu. Mereka harus benar-benar memperhatikan manfaat apa yang akan diperoleh publik dari tayangan tersebut.

Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi Jakarta.

No comments: