Problem Komunikasi Pejabat Negara
Oleh Ahmad Faisol
TV Australia, Nine Network, pada berita edisi 1 April 2007 menayangkan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda.
Menurut Tatang, ada percekcokan pilot dengan kopilot sebelum Garuda 200 celaka pada 7 Maret 2007. Kopilot mengingatkan agar pesawat tidak langsung mendarat dan sebaiknya berputar-putar dahulu karena masih kecepatannya tinggi. Namun, sebaliknya, pilot memutuskan untuk landing. Hal itu mengakibatkan hilangnya konsentrasi saat mendekati landasan (Jawa Pos, 2 April 2007).
Sehari kemudian (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan itu adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan, dia menuduh TV Australia itu memelintir pernyataannya. Dia mengharapkan dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarai dirinya untuk membuktikan pernyataannya.
Menurut saya, contoh tersebut menunjukkan adanya problem komunikasi pejabat kita ketika berhubungan dengan media massa. Sudah banyak contoh bahwa pejabat membantah berita yang memuat pernyataannya.
Kita masih ingat bagaimana Menristek Kusmayanto Kadiman yang juga membantah pemberitaan Associated Press (AP). Saat itu, Menristek diberitakan menerima peringatan sesaat sebelum terjadi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Tak ayal lagi, Menristek dibombardir di sana sini akibat kelalaiannya tersebut. Menristek kemudian sibuk menjelaskan bahwa berita itu tidak benar.
Bahkan, dia berencana mengirimkan somasi kepada media Amerika yang memberitakan pernyataannya. Namun, akhirnya berita itu hilang ditelan persoalan lain.
Kredibilitas Pejabat
Dua contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa problem komunikasi media pejabat publik berada pada kesiapan mereka ketika melayani rentetan pertanyaan media. Pejabat publik pasti akan menjadi incaran wartawan untuk dijadikan sumber berita. Apalagi, media massa lebih mengutamakan aspek prominence (keterkenalan) ketika memilih sumber berita.
Terlebih jika pejabat tersebut memiliki kompetensi tinggi dalam sebuah peristiwa. Misalnya, jabatan Tatang Kurniadi sebagai ketua KNKT yang memegang kunci pengungkapan kasus kecelakaan transportasi.
Jika pejabat publik siap menghadapi serbuan media, tentunya kegiatan membantah berita media tak perlu mereka lakukan. Kesiapan itu, misalnya, harus mengetahui batas-batas yang boleh dibuka kepada publik dan yang tidak boleh diekspose. Jangan sampai pejabat terjebak pertanyaan wartawan sehingga keceplosan memberikan jawaban.
Seperti kasus ketua KNKT itu. Jika memang hasil investigasi KNKT tidak boleh dibuka, berarti apa yang dilakukan Tatang Kurniadi adalah sebuah keceplosan.
Di sini seorang pejabat harus menyadari bahwa ketika berbicara kepada wartawan, hakikatnya dia berbicara dengan publik. Media berhak memberitakan apa yang mereka sampaikan. Kecuali, pejabat itu sejak awal sudah memberikan penegasan pernyataannya adalah pernyataan off the record. Karena itu, pejabat publik harus benar-benar mempersiapkan diri ketika memberikan pernyataan melalui media.
Pejabat juga harus menyadari bahwa pemberitaan media tidak mudah untuk dicabut dan diluruskan kembali. Memang, sebuah berita dapat dibantah atau dikonter dengan berita berikutnya. Tapi, bukan berarti serta merta akan menutup berita yang dilansir sebelumnya. Tidak ada jaminan orang yang telah mengetahui berita sebelumnya juga akan membaca berita bantahan. Apalagi jika opini publik sudah terbentuk.
Kondisi itu akan berimplikasi kepada kredibilitas sang pejabat dan informasi yang dia berikan. Jika dia selalu membantah pernyataan yang telah dikemukakan sendiri, publik akan dapat menilai pejabat tersebut tidak konsisten. Alih-alih meluruskan berita bisa-bisa dia akan mendapat cap mencla-mencle dari masyarakat.
Mekanisme Ombudsman Media
Ini membawa kita pada problem komunikasi media pejabat kita yang kedua, yaitu tidak adanya kesiapan ketika harus memulihkan kredibilitasnya di mata publik. Pejabat tidak memiliki sebuah strategi komunikasi ketika berhadapan dengan media.
Jika memang ketua KNKT merasa tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang diberitakan TV Australia, seharusnya dia aktif melakukan strategi komunikasi media, bukannya pasif menunggu ditanya media. Akan lebih baik jika ketua KNKT berinisiatif melakukan jumpa pers atau mengirimkan siaran pers ketimbang hanya menunggu konfirmasi wartawan.
Faktanya, ketika ketua KNKT pasif, publik tidak mudah mempercayai bantahan yang dia berikan. Terlebih bukti pernyataan yang dia sampaikan kepada TV Australia sangat mudah didapatkan. Publik pun akan mudah menilai apakah ketua KNKT berbohong atau tidak.
Dalam kondisi demikian, ketua KNKT seharusnya menempuh prosedur lain yang lebih elegan, yaitu membuat pengaduan kepada ombudsman media yang bersangkutan. Prosedur itu akan membuktikan apakah pernyataan ketua KNKT yang dimuat TV Australia benar atau sebuah rekayasa belaka. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi, termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.
Bagi media, mekanisme ombudsman itu akan menjadi pertanggungjawaban dirinya kepada publik. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Ombudsman memungkinkan media menjaga kepercayaan publik.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta
Wednesday, April 11, 2007
Jawa Pos, 11 April 2007
Problem Komunikasi Pejabat Negara
Oleh Ahmad Faisol
TV Australia, Nine Network, pada berita edisi 1 April 2007 menayangkan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda.
Menurut Tatang, ada percekcokan pilot dengan kopilot sebelum Garuda 200 celaka pada 7 Maret 2007. Kopilot mengingatkan agar pesawat tidak langsung mendarat dan sebaiknya berputar-putar dahulu karena masih kecepatannya tinggi. Namun, sebaliknya, pilot memutuskan untuk landing. Hal itu mengakibatkan hilangnya konsentrasi saat mendekati landasan (Jawa Pos, 2 April 2007).
Sehari kemudian (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan itu adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan, dia menuduh TV Australia itu memelintir pernyataannya. Dia mengharapkan dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarai dirinya untuk membuktikan pernyataannya.
Menurut saya, contoh tersebut menunjukkan adanya problem komunikasi pejabat kita ketika berhubungan dengan media massa. Sudah banyak contoh bahwa pejabat membantah berita yang memuat pernyataannya.
Kita masih ingat bagaimana Menristek Kusmayanto Kadiman yang juga membantah pemberitaan Associated Press (AP). Saat itu, Menristek diberitakan menerima peringatan sesaat sebelum terjadi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Tak ayal lagi, Menristek dibombardir di sana sini akibat kelalaiannya tersebut. Menristek kemudian sibuk menjelaskan bahwa berita itu tidak benar.
Bahkan, dia berencana mengirimkan somasi kepada media Amerika yang memberitakan pernyataannya. Namun, akhirnya berita itu hilang ditelan persoalan lain.
Kredibilitas Pejabat
Dua contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa problem komunikasi media pejabat publik berada pada kesiapan mereka ketika melayani rentetan pertanyaan media. Pejabat publik pasti akan menjadi incaran wartawan untuk dijadikan sumber berita. Apalagi, media massa lebih mengutamakan aspek prominence (keterkenalan) ketika memilih sumber berita.
Terlebih jika pejabat tersebut memiliki kompetensi tinggi dalam sebuah peristiwa. Misalnya, jabatan Tatang Kurniadi sebagai ketua KNKT yang memegang kunci pengungkapan kasus kecelakaan transportasi.
Jika pejabat publik siap menghadapi serbuan media, tentunya kegiatan membantah berita media tak perlu mereka lakukan. Kesiapan itu, misalnya, harus mengetahui batas-batas yang boleh dibuka kepada publik dan yang tidak boleh diekspose. Jangan sampai pejabat terjebak pertanyaan wartawan sehingga keceplosan memberikan jawaban.
Seperti kasus ketua KNKT itu. Jika memang hasil investigasi KNKT tidak boleh dibuka, berarti apa yang dilakukan Tatang Kurniadi adalah sebuah keceplosan.
Di sini seorang pejabat harus menyadari bahwa ketika berbicara kepada wartawan, hakikatnya dia berbicara dengan publik. Media berhak memberitakan apa yang mereka sampaikan. Kecuali, pejabat itu sejak awal sudah memberikan penegasan pernyataannya adalah pernyataan off the record. Karena itu, pejabat publik harus benar-benar mempersiapkan diri ketika memberikan pernyataan melalui media.
Pejabat juga harus menyadari bahwa pemberitaan media tidak mudah untuk dicabut dan diluruskan kembali. Memang, sebuah berita dapat dibantah atau dikonter dengan berita berikutnya. Tapi, bukan berarti serta merta akan menutup berita yang dilansir sebelumnya. Tidak ada jaminan orang yang telah mengetahui berita sebelumnya juga akan membaca berita bantahan. Apalagi jika opini publik sudah terbentuk.
Kondisi itu akan berimplikasi kepada kredibilitas sang pejabat dan informasi yang dia berikan. Jika dia selalu membantah pernyataan yang telah dikemukakan sendiri, publik akan dapat menilai pejabat tersebut tidak konsisten. Alih-alih meluruskan berita bisa-bisa dia akan mendapat cap mencla-mencle dari masyarakat.
Mekanisme Ombudsman Media
Ini membawa kita pada problem komunikasi media pejabat kita yang kedua, yaitu tidak adanya kesiapan ketika harus memulihkan kredibilitasnya di mata publik. Pejabat tidak memiliki sebuah strategi komunikasi ketika berhadapan dengan media.
Jika memang ketua KNKT merasa tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang diberitakan TV Australia, seharusnya dia aktif melakukan strategi komunikasi media, bukannya pasif menunggu ditanya media. Akan lebih baik jika ketua KNKT berinisiatif melakukan jumpa pers atau mengirimkan siaran pers ketimbang hanya menunggu konfirmasi wartawan.
Faktanya, ketika ketua KNKT pasif, publik tidak mudah mempercayai bantahan yang dia berikan. Terlebih bukti pernyataan yang dia sampaikan kepada TV Australia sangat mudah didapatkan. Publik pun akan mudah menilai apakah ketua KNKT berbohong atau tidak.
Dalam kondisi demikian, ketua KNKT seharusnya menempuh prosedur lain yang lebih elegan, yaitu membuat pengaduan kepada ombudsman media yang bersangkutan. Prosedur itu akan membuktikan apakah pernyataan ketua KNKT yang dimuat TV Australia benar atau sebuah rekayasa belaka. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi, termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.
Bagi media, mekanisme ombudsman itu akan menjadi pertanggungjawaban dirinya kepada publik. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Ombudsman memungkinkan media menjaga kepercayaan publik.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta
Oleh Ahmad Faisol
TV Australia, Nine Network, pada berita edisi 1 April 2007 menayangkan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda.
Menurut Tatang, ada percekcokan pilot dengan kopilot sebelum Garuda 200 celaka pada 7 Maret 2007. Kopilot mengingatkan agar pesawat tidak langsung mendarat dan sebaiknya berputar-putar dahulu karena masih kecepatannya tinggi. Namun, sebaliknya, pilot memutuskan untuk landing. Hal itu mengakibatkan hilangnya konsentrasi saat mendekati landasan (Jawa Pos, 2 April 2007).
Sehari kemudian (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan itu adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan, dia menuduh TV Australia itu memelintir pernyataannya. Dia mengharapkan dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarai dirinya untuk membuktikan pernyataannya.
Menurut saya, contoh tersebut menunjukkan adanya problem komunikasi pejabat kita ketika berhubungan dengan media massa. Sudah banyak contoh bahwa pejabat membantah berita yang memuat pernyataannya.
Kita masih ingat bagaimana Menristek Kusmayanto Kadiman yang juga membantah pemberitaan Associated Press (AP). Saat itu, Menristek diberitakan menerima peringatan sesaat sebelum terjadi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Tak ayal lagi, Menristek dibombardir di sana sini akibat kelalaiannya tersebut. Menristek kemudian sibuk menjelaskan bahwa berita itu tidak benar.
Bahkan, dia berencana mengirimkan somasi kepada media Amerika yang memberitakan pernyataannya. Namun, akhirnya berita itu hilang ditelan persoalan lain.
Kredibilitas Pejabat
Dua contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa problem komunikasi media pejabat publik berada pada kesiapan mereka ketika melayani rentetan pertanyaan media. Pejabat publik pasti akan menjadi incaran wartawan untuk dijadikan sumber berita. Apalagi, media massa lebih mengutamakan aspek prominence (keterkenalan) ketika memilih sumber berita.
Terlebih jika pejabat tersebut memiliki kompetensi tinggi dalam sebuah peristiwa. Misalnya, jabatan Tatang Kurniadi sebagai ketua KNKT yang memegang kunci pengungkapan kasus kecelakaan transportasi.
Jika pejabat publik siap menghadapi serbuan media, tentunya kegiatan membantah berita media tak perlu mereka lakukan. Kesiapan itu, misalnya, harus mengetahui batas-batas yang boleh dibuka kepada publik dan yang tidak boleh diekspose. Jangan sampai pejabat terjebak pertanyaan wartawan sehingga keceplosan memberikan jawaban.
Seperti kasus ketua KNKT itu. Jika memang hasil investigasi KNKT tidak boleh dibuka, berarti apa yang dilakukan Tatang Kurniadi adalah sebuah keceplosan.
Di sini seorang pejabat harus menyadari bahwa ketika berbicara kepada wartawan, hakikatnya dia berbicara dengan publik. Media berhak memberitakan apa yang mereka sampaikan. Kecuali, pejabat itu sejak awal sudah memberikan penegasan pernyataannya adalah pernyataan off the record. Karena itu, pejabat publik harus benar-benar mempersiapkan diri ketika memberikan pernyataan melalui media.
Pejabat juga harus menyadari bahwa pemberitaan media tidak mudah untuk dicabut dan diluruskan kembali. Memang, sebuah berita dapat dibantah atau dikonter dengan berita berikutnya. Tapi, bukan berarti serta merta akan menutup berita yang dilansir sebelumnya. Tidak ada jaminan orang yang telah mengetahui berita sebelumnya juga akan membaca berita bantahan. Apalagi jika opini publik sudah terbentuk.
Kondisi itu akan berimplikasi kepada kredibilitas sang pejabat dan informasi yang dia berikan. Jika dia selalu membantah pernyataan yang telah dikemukakan sendiri, publik akan dapat menilai pejabat tersebut tidak konsisten. Alih-alih meluruskan berita bisa-bisa dia akan mendapat cap mencla-mencle dari masyarakat.
Mekanisme Ombudsman Media
Ini membawa kita pada problem komunikasi media pejabat kita yang kedua, yaitu tidak adanya kesiapan ketika harus memulihkan kredibilitasnya di mata publik. Pejabat tidak memiliki sebuah strategi komunikasi ketika berhadapan dengan media.
Jika memang ketua KNKT merasa tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang diberitakan TV Australia, seharusnya dia aktif melakukan strategi komunikasi media, bukannya pasif menunggu ditanya media. Akan lebih baik jika ketua KNKT berinisiatif melakukan jumpa pers atau mengirimkan siaran pers ketimbang hanya menunggu konfirmasi wartawan.
Faktanya, ketika ketua KNKT pasif, publik tidak mudah mempercayai bantahan yang dia berikan. Terlebih bukti pernyataan yang dia sampaikan kepada TV Australia sangat mudah didapatkan. Publik pun akan mudah menilai apakah ketua KNKT berbohong atau tidak.
Dalam kondisi demikian, ketua KNKT seharusnya menempuh prosedur lain yang lebih elegan, yaitu membuat pengaduan kepada ombudsman media yang bersangkutan. Prosedur itu akan membuktikan apakah pernyataan ketua KNKT yang dimuat TV Australia benar atau sebuah rekayasa belaka. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi, termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.
Bagi media, mekanisme ombudsman itu akan menjadi pertanggungjawaban dirinya kepada publik. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Ombudsman memungkinkan media menjaga kepercayaan publik.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta
Monday, April 02, 2007
Tulisan KNKT
Problem Komunikasi Pejabat dan Mekanisme Ombudsman Media
Ahmad Faisol
TV Australia, Nine Network dalam berita edisi 1 April 2007 memberitakan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda. Menurut Tatang, ada percekcokan antara pilot dan co pilot sesaat sebelum Garuda 200 celaka 7 Maret 2007. Kopilot mengingatkan agar pesawat tidak langsung mendarat dan sebaiknya berputar-putar dulu karena kecepatannya masih tinggi. Sebaliknya, pilot memutuskan untuk landing. Hal itu mengakibatkan hilangnya konsentrasi saat mendekati landasan (Jawa Pos, 2 April 2007).
Sehari sesudahnya (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan dia menuduh TV Australia itu telah memelintir pernyataannya. Dia berharap dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarainya untuk membuktikan pernyataannya.
Menurut saya adanya contoh di atas menunjukkan adanya problem komunikasi pejabat kita ketika berhubungan dengan media massa. Sudah banyak contoh dimana pejabat membantah berita yang memuat pernyataannya.
Kita masih ingat bagaimana Menristek Kusmayanto Kadiman yang juga membantah pemberitaan Associated Press (AP). Saat itu, Menristek diberitakan telah menerima peringatan, sesaat sebelum terjadi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Tak ayal lagi Menristek dibombardir di sana-sini akibat kelalaiannya tersebut. Menristek kemudian sibuk menjelaskan bahwa berita itu tidak benar. Bahkan dia berencana mengirimkan somasi terhadap media Amerika yang memberaitakan pernyataannya. Namun akhirnya berita ini hilang ditelan persoalan lainnya.
Kredibilitas Pejabat
Berdasar dua contoh di atas, memperlihatkan kepada kita bahwa problem komunikasi media pejabat publik terletak pada kesiapan mereka ketika melayani rentetan pertanyaan media. Pejabat publik pasti akan menjadi incaran wartawan untuk dijadikan sumber berita. Apalagi media massa lebih mengutamakan aspek prominence (keterkenalan) ketika memilih sumber berita. Terlebih jika pejabat tersebut memiliki kompetensi tinggi dalam sebuah peristiwa. Seperti jabatan Tatang Kurniadi sebagai Ketua KNKT yang memegang kunci pengungkapan kasus kecelakaan transportasi.
Jika pejabat public siap menghadapi serbuan media, tentunya kegiatan membantah berita media tak perlu mereka lakukan lagi. Kesiapan itu misalnya pejabat harus mengetahui batas-batas mana yang boleh dibuka kepada publik dan mana yang tidak boleh diekspose. Jangan sampai pejabat tersebut “terjebak” oleh pertanyaan wartawan sehingga “keceplosan” dalam memberikan jawaban. Seperti kasus ketua KNKT tersebut. Jika memang hasil investigasi KNKT tidak boleh dibuka berarti apa yang dilakukan oleh Tatang Kurniadi adalah sebuah “keceplosan”.
Di sini seorang pejabat harus menyadari bahwa ketika dia berbicara dengan wartawan maka hakikatnya dia berbicara dengan publik. Media berhak memberitakan apa yang mereka sampaikan Kecuali jika pejabat itu sejak awal sudah memberikan penegasan pernyataannya adalah pernyataan off the record. Oleh sebab itu pejabat public harus benar-benar mempersiapkan diri ketika memberikan pernyataan melalui media.
Pejabat juga harus menyadari bahwa pemberitaan media tidak mudah untuk dicabut dan diluruskan kembali. Memang, sebuah berita dapat dibantah atau di-counter dengan berita berikutnya. Tapi bukan berarti serta-merta akan menutup berita yang telah dilansir sebelumnya. Tidak ada jaminan orang yang telah mengetahui berita sebelumnya juga akan membaca berita bantahannya. Apalagi jika opini publik sudah terbentuk.
Kondisi ini akan berimplikasi kepada kredibilitas sang pejabat dan informasi yang dia berikan. Jika dia selalu membantah pernyataan yang telah dikemukakan sendiri maka public akan dapat menilai pejabat tersebut tidak konsisten. Alih-alih meluruskan berita, bisa-bisa dia akan mendapat cap “mencla-mencle” dari masyarakat.
Mekanisme Ombudsman Media
Ini membawa kita pada problem komunikasi media pejabat kita yang kedua yaitu tidak adanya kesiapan ketika harus memulihkan kredibilitasnya di mata publik. Pejabat tidak memiliki sebuah strategi komunikasi ketika berhadapan dengan media. Jika memang Ketua KNKT merasa tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang diberitakan TV Australia maka seharusnya dia aktif melakukan strategi komunikasi media, bukannya pasif menunggu ditanya media. Akan lebih baik jika ketua KNKT berinisiatif melakukan jumpa pers atau mengirimkan siaran pers, ketimbang hanya menunggu konfirmasi wartawan.
Faktanya, ketika Ketua KNKT pasif, publik tidak mudah percaya dengan bantahan yang dia berikan. Terlebih bukti pernyataan yang ia sampaikan pada TV Australia sangat mudah didapatkan. Publik pun akan mudah menilai apakah ketua KNKT berbohong atau tidak.
Dalam kondisi demikian Ketua KNKT seharusnya menempuh prosedur lain yang lebih elegan yaitu membuat pengaduan kepada ombudsman media yang bersangkutan. Prosedur ini akan membuktikan apakah pernyataan Ketua KNKT yang dimuat TV Australia benar adanya atau sebuah rekayasa belaka. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan apakah berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.
Cara ini saya kira akan lebih memberikan manfaat kepada pejabat dan media serta publik. Bagi pejabat ini dapat mengembalikan kredibilitasnya. Bila ombudsman menyatakan dirinya yang benar, otomatis medianya salah, dengan sendirinya akan mengembalikan kredibilitasnya.
Bagi media, mekanisme ombudsman ini akan menjadi pertanggungjawaban dirinya kepada publik. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Ombudsman memungkinkan media menjaga kepercayaan publik.
Bagi publik, cara ini juga memungkinkan untuk mengetahui apakah berita yang diturunkan media benar atau tidak. Selama ini ketidakpuasan atas pemberitaan media diselesaikan dengan pengadilan atau cara “damai” melalui pemberian hak jawab. Kedua cara itu tidak pernah memberikan kejelasan apakah berita media tersebut benar atau tidak. Persoalannya berani tidak kita melakukannya.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta.
Dikirim ke Harian Jawa Pos
Ahmad Faisol
TV Australia, Nine Network dalam berita edisi 1 April 2007 memberitakan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda. Menurut Tatang, ada percekcokan antara pilot dan co pilot sesaat sebelum Garuda 200 celaka 7 Maret 2007. Kopilot mengingatkan agar pesawat tidak langsung mendarat dan sebaiknya berputar-putar dulu karena kecepatannya masih tinggi. Sebaliknya, pilot memutuskan untuk landing. Hal itu mengakibatkan hilangnya konsentrasi saat mendekati landasan (Jawa Pos, 2 April 2007).
Sehari sesudahnya (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan dia menuduh TV Australia itu telah memelintir pernyataannya. Dia berharap dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarainya untuk membuktikan pernyataannya.
Menurut saya adanya contoh di atas menunjukkan adanya problem komunikasi pejabat kita ketika berhubungan dengan media massa. Sudah banyak contoh dimana pejabat membantah berita yang memuat pernyataannya.
Kita masih ingat bagaimana Menristek Kusmayanto Kadiman yang juga membantah pemberitaan Associated Press (AP). Saat itu, Menristek diberitakan telah menerima peringatan, sesaat sebelum terjadi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Tak ayal lagi Menristek dibombardir di sana-sini akibat kelalaiannya tersebut. Menristek kemudian sibuk menjelaskan bahwa berita itu tidak benar. Bahkan dia berencana mengirimkan somasi terhadap media Amerika yang memberaitakan pernyataannya. Namun akhirnya berita ini hilang ditelan persoalan lainnya.
Kredibilitas Pejabat
Berdasar dua contoh di atas, memperlihatkan kepada kita bahwa problem komunikasi media pejabat publik terletak pada kesiapan mereka ketika melayani rentetan pertanyaan media. Pejabat publik pasti akan menjadi incaran wartawan untuk dijadikan sumber berita. Apalagi media massa lebih mengutamakan aspek prominence (keterkenalan) ketika memilih sumber berita. Terlebih jika pejabat tersebut memiliki kompetensi tinggi dalam sebuah peristiwa. Seperti jabatan Tatang Kurniadi sebagai Ketua KNKT yang memegang kunci pengungkapan kasus kecelakaan transportasi.
Jika pejabat public siap menghadapi serbuan media, tentunya kegiatan membantah berita media tak perlu mereka lakukan lagi. Kesiapan itu misalnya pejabat harus mengetahui batas-batas mana yang boleh dibuka kepada publik dan mana yang tidak boleh diekspose. Jangan sampai pejabat tersebut “terjebak” oleh pertanyaan wartawan sehingga “keceplosan” dalam memberikan jawaban. Seperti kasus ketua KNKT tersebut. Jika memang hasil investigasi KNKT tidak boleh dibuka berarti apa yang dilakukan oleh Tatang Kurniadi adalah sebuah “keceplosan”.
Di sini seorang pejabat harus menyadari bahwa ketika dia berbicara dengan wartawan maka hakikatnya dia berbicara dengan publik. Media berhak memberitakan apa yang mereka sampaikan Kecuali jika pejabat itu sejak awal sudah memberikan penegasan pernyataannya adalah pernyataan off the record. Oleh sebab itu pejabat public harus benar-benar mempersiapkan diri ketika memberikan pernyataan melalui media.
Pejabat juga harus menyadari bahwa pemberitaan media tidak mudah untuk dicabut dan diluruskan kembali. Memang, sebuah berita dapat dibantah atau di-counter dengan berita berikutnya. Tapi bukan berarti serta-merta akan menutup berita yang telah dilansir sebelumnya. Tidak ada jaminan orang yang telah mengetahui berita sebelumnya juga akan membaca berita bantahannya. Apalagi jika opini publik sudah terbentuk.
Kondisi ini akan berimplikasi kepada kredibilitas sang pejabat dan informasi yang dia berikan. Jika dia selalu membantah pernyataan yang telah dikemukakan sendiri maka public akan dapat menilai pejabat tersebut tidak konsisten. Alih-alih meluruskan berita, bisa-bisa dia akan mendapat cap “mencla-mencle” dari masyarakat.
Mekanisme Ombudsman Media
Ini membawa kita pada problem komunikasi media pejabat kita yang kedua yaitu tidak adanya kesiapan ketika harus memulihkan kredibilitasnya di mata publik. Pejabat tidak memiliki sebuah strategi komunikasi ketika berhadapan dengan media. Jika memang Ketua KNKT merasa tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang diberitakan TV Australia maka seharusnya dia aktif melakukan strategi komunikasi media, bukannya pasif menunggu ditanya media. Akan lebih baik jika ketua KNKT berinisiatif melakukan jumpa pers atau mengirimkan siaran pers, ketimbang hanya menunggu konfirmasi wartawan.
Faktanya, ketika Ketua KNKT pasif, publik tidak mudah percaya dengan bantahan yang dia berikan. Terlebih bukti pernyataan yang ia sampaikan pada TV Australia sangat mudah didapatkan. Publik pun akan mudah menilai apakah ketua KNKT berbohong atau tidak.
Dalam kondisi demikian Ketua KNKT seharusnya menempuh prosedur lain yang lebih elegan yaitu membuat pengaduan kepada ombudsman media yang bersangkutan. Prosedur ini akan membuktikan apakah pernyataan Ketua KNKT yang dimuat TV Australia benar adanya atau sebuah rekayasa belaka. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan apakah berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.
Cara ini saya kira akan lebih memberikan manfaat kepada pejabat dan media serta publik. Bagi pejabat ini dapat mengembalikan kredibilitasnya. Bila ombudsman menyatakan dirinya yang benar, otomatis medianya salah, dengan sendirinya akan mengembalikan kredibilitasnya.
Bagi media, mekanisme ombudsman ini akan menjadi pertanggungjawaban dirinya kepada publik. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Ombudsman memungkinkan media menjaga kepercayaan publik.
Bagi publik, cara ini juga memungkinkan untuk mengetahui apakah berita yang diturunkan media benar atau tidak. Selama ini ketidakpuasan atas pemberitaan media diselesaikan dengan pengadilan atau cara “damai” melalui pemberian hak jawab. Kedua cara itu tidak pernah memberikan kejelasan apakah berita media tersebut benar atau tidak. Persoalannya berani tidak kita melakukannya.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta.
Dikirim ke Harian Jawa Pos
Tuesday, March 27, 2007
Tulisan KPI
Menjelang Berakhirnya Masa Jabatan Anggota KPI:
Harapan Untuk KPI
Ahmad Faisol
Tidak terasa masa jabatan pengurus KPI Pusat sudah hampir berakhir. Pendaftaran untuk calon anggota KPI Pusat yang baru sudah dibuka sampai akhir bulan Agustus ini. Kita memang belum tahu siapa sosok-sosok yang ikut mencalonkan diri menjadi anggota KPI. Kita juga belum tahu apakah anggota KPI yang lama mencalonkan diri atau tidak. Namun kita perlu merenungkan kembali apa yang telah dilakukan KPI dalam periode jabatan yangh kemarin.
Hal ini perlu dilakukan mengingat KPI merupakan institusi yang dilahirkan dan mendapatkan mandat dari UU nomer 32 tahun 2002 tentang penyiaran (UU Penyiaran) untuk menciptakan terbentuknya system penyiaran yang demokratis. Mandat ini sekaligus menugaskan KPI untuk menjamin system penyiaran yang terbangun selalu bersifat demokratis dalam arti berpihak kepada kepentingan public. Sebab, frekuensi yang menjadi basis material stasiun penyiaran merupakan ranah public yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan public. Maka, ketika kita merenungkan perjalanan KPI kita harus selalu mengacu kepada pertanyaan sudahkah KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis? Lalu jika sudah, mampukah KPI menjaga system penyiaran yang sudah mereka bangun?
Sistem Penyiaran Dalam UU Penyiaran
Menilai apakah KPI sudah menciptakan system penyiaran yang demokratis, kita harus melihat bagaimana system penyiaran yang diamanatkan oleh UU Penyaiaran. Dalam undang-undang tersebut berusaha mendemokratiskan system penyiaran dengan menciptakan keragaman informasi melalui stasiun penyiaran local. Ini sebagai antitesa dari system penyiaran saat ini khususnya televise yang lebih bersifat sentralistik Hampir seluruh stasiun televise yang ada adalah televise nasional. Dengan system penyiaran local maka ada harapan untuk mendobrak homogenisasi tayangan Ketika salah satu stasiun TV sukses dengan ajang pencarian bibit penyanyi, TV lain meniru dengan format yang sama hanya jenis musiknya yang berbeda. Begitu pula dengan kesuksesan tayangan sinetron bernuansa religi segera ditiru oleh stasiun TV lain sehingga sinetron religi membanjiri dunia layar kaca. Tidak hanya tayangan hiburan, tayangan jurnalistik pun dihinggapi gejala serupa. Tayangan berita politik yang hangat, sensasional dan menggebu-gebu menjadi menu seragam di seluruh stasiun televisi. Mereka memberitakan hal yang sama dengan perspektif dan gaya penyajian yang sama pula. Ketika tayangan berita kriminal dianggap sukses, tidak ada satu stasiun televisi pun yang tidak membuat program berita kriminal.
Selain mewajibkan stasiun penyiaran berbasis local, untuk menjaga keragaman informasi yang diperoleh oleh public UU Penyiaran juga membagi stasiun penyiaran menjadi empat yaitu: stasiun penyiaran swasta, stasiun penyiaran public, system penyiaran komunitas, dan stasiun penyiaran berlangganan. Pembagian ini diharapkan menerobos dominasi rating sebagai parameter tayangan. Dengan karakteristik stasiun penyiaran yang berbeda seluruh masyarakat dengan berbagai keragamannya akan dapat terlayani oleh stasiun penyiaran. Tidak seperti selama ini dimana hanya tayangan yang memiliki rating tinggi dan mampu mendatangkan pemasukan iklan lah yang akan ditayangkan. Sesuatu yang wajar sebenarnya mengingat stasiun penyiaran yang ada adalah stasiun penyiaran swasta dimana mereka menggantungkan hidupnya dari pemasukan iklan yang ada.
Menengok Kiprah KPI
Sejak dibentuk tahun 2003, KPI tidak serta-merta dapat melaksanakan tugasnya menciptakan system penyiaran demokratis seperti diamanatkan UU Penyiaran di atas. Malah dapat dikatakan dalam periode empat tahun ini, KPI terutama KPI PUsat serasa menempuh jalan terjal. Secara kelembagaan, mereka harus menata internalnya sendiri seperti menata infrastruktur organisasi dan menangani pembentukan KPI Daerah (meski yang memilih DPRD Propinsi dan Gubernur). Di sini ketegangan KPI dan Depkominfo (dulu Menegkominfo) sudah terjadi. Dukungan Depkominfo terhadap KPI di awal masa pembentukannya dari sisi anggaran sangatlah minim. Bahkan selama setahun pertama anggota KPI tidak mendapatkan gaji meski kemudian itu dirapel di tahun kedua. Tapi, hal itu telah menyebabkan kurang maksimalnya kinerja KPI.
Konflik dengan Depkominfo nampaknya terus terjadi dalam perjalanan KPI kemarin. Selain minimnya anggaran, KPI dan Depkominfo memperebutkan kewenangan perijinan. Konflik yang bermula dari keluarnya PP Penyiaran yang mengebiri kewenangan KPI dalam mengatur stasiun penyiaran khususnya dalam hal perijinan. Saking kerasnya, konflik inipun menyeret keterlibatan Komisi I DPR dan kalangan masyarakat sipil. Sebagian besar mereka menyayangkan keluarnya PP Penyiaran ini.
Selain Depkominfo, kalangan industri juga mempersoalkan eksistensi KPI. Mereka sempat mengajukan judicial review UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) dimana salah satu permohonannya adalah menghapus keberadaan KPI. Meski MK kemudian meneguhkan eksistensi KPI, namun sudah terjadi ketegangan KPI dengan industri penyiaran sebagai pihak yang mereka atur.
Habisnya energi KPI untuk menghadapi hal di atas, telah menyebabkan kurang maksimalnya upaya KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis. Dari sekian banyak regulasi yang harus dibuat KPI yang paling dikenal public mungkin peraturan KPI mengenai standar pedoman perilaku penyiaran. Namun dari sisi keragaman informasi melalui system penyiaran berbasis local dan karakteristik penyiaran yang berbeda tidak tersentuh oleh KPI. Memang, sekarang sudah banyak stasiun penyiaran local. Namun keberadaan mereka telah ada sejak sebelum KPI lahir. Stasiun penyiaran local bahkan ikut mendorong lahirnya UU Penyiaran yang artinya ikut mendorong lahirnya KPI. Selain itu, keberadaan stasiun penyiaran local didominasi oleh stasiun penyiaran swasta. Kita pantas untuk khawatir melihat fenomena ini. Oleh karena bukan tidak mungkin problem keseragaman yang terjadi pada stasiun penyiaran nasional akan bergeser. Tentunya, sebagai stasiun televisi swasta mereka akan menerapkan prinsip serupa. Tayangan apa yang menjadi top rating pasti akan dijiplak demi mendapatkan iklan. Bahkan jika tayangan top rating merupakan tayangan stasiun TV nasional, mereka pasti tidak segan mengadopsi dalam versi lokal. Atau jika ada salah satu tayangan sebuah TV lokal dianggap sukses, bukan tidak mungkin TV lokal di daerah lain akan menirunya. Apabila ini terjadi, bukan hanya keseragaman yang muncul, tapi content lokal pun akan menghilang. Lokalitas pun hanya menjadi impian.
Bahkan untuk menciptakan stasiun penyiaran local langkah Depkominfo sedikit lebih maju. Depkominfo berencana untuk “memaksa” stasiun penyiaran nasional melakukan merger guna memberikan alokasi frekuensi kepada stasiun penyiaran local. Padahal bagi stasiun penyiaran swasta yang bersifat komresial, merger atau tidak hanya didasarkan pada pertimbangan bisnis.
Harapan KPI Ke Depan
Ke depan, tentunya kita berharap KPI dapat memfokuskan upayanya menciptakan system penyiaran yang demokratis. KPI diharapkan bukan hanya sekedar “menciptakan” stasiun penyiaran local namun lebih dari itu KPI harus mendorong adanya representasi empat karakteristik stasiun penyiaran seperti dimanatkan UU Penyiaran. Adanya stasiun penyiaran dalam semua krakteristik selain akan mampu menjawab problem keseragaman, juga akan menjawab persoalan pendidikan public oleh stasiun penyiaran. Kehadiran stasiun penyiaran dengan ragam karakteristiknya diharapkan menjadi penuntun bagi masyarakat yang dia layani, agar tercipta masyarakat yang mampu membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi.
Harapan lain dalam menciptakan stasiun penyiaran demokratis adalah kemampuan KPI untuk mendorong adanya “self regulation” di kalangan stasiun penyiaran. Ini yang belum dilakukan oleh KPI. Malah KPI berusaha mengatur content televise dengan membuat peraturan mengenai standar perilaku penyiaran. Seharusnya KPI tidak mengatur content stasiun penyiaran akan tetapi lebih mendorong bagaimana stasiun penyiaran mengatur dirinya sendiri dalam hal standar tayangan televise. Sehingga dalam system penyiaran akan ada semacam “dewan pers” di media cetak yang menjadi tempat masyarakat untuk menyalurkan pengaduannya terhadsap tayangan televise.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta
.
Harapan Untuk KPI
Ahmad Faisol
Tidak terasa masa jabatan pengurus KPI Pusat sudah hampir berakhir. Pendaftaran untuk calon anggota KPI Pusat yang baru sudah dibuka sampai akhir bulan Agustus ini. Kita memang belum tahu siapa sosok-sosok yang ikut mencalonkan diri menjadi anggota KPI. Kita juga belum tahu apakah anggota KPI yang lama mencalonkan diri atau tidak. Namun kita perlu merenungkan kembali apa yang telah dilakukan KPI dalam periode jabatan yangh kemarin.
Hal ini perlu dilakukan mengingat KPI merupakan institusi yang dilahirkan dan mendapatkan mandat dari UU nomer 32 tahun 2002 tentang penyiaran (UU Penyiaran) untuk menciptakan terbentuknya system penyiaran yang demokratis. Mandat ini sekaligus menugaskan KPI untuk menjamin system penyiaran yang terbangun selalu bersifat demokratis dalam arti berpihak kepada kepentingan public. Sebab, frekuensi yang menjadi basis material stasiun penyiaran merupakan ranah public yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan public. Maka, ketika kita merenungkan perjalanan KPI kita harus selalu mengacu kepada pertanyaan sudahkah KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis? Lalu jika sudah, mampukah KPI menjaga system penyiaran yang sudah mereka bangun?
Sistem Penyiaran Dalam UU Penyiaran
Menilai apakah KPI sudah menciptakan system penyiaran yang demokratis, kita harus melihat bagaimana system penyiaran yang diamanatkan oleh UU Penyaiaran. Dalam undang-undang tersebut berusaha mendemokratiskan system penyiaran dengan menciptakan keragaman informasi melalui stasiun penyiaran local. Ini sebagai antitesa dari system penyiaran saat ini khususnya televise yang lebih bersifat sentralistik Hampir seluruh stasiun televise yang ada adalah televise nasional. Dengan system penyiaran local maka ada harapan untuk mendobrak homogenisasi tayangan Ketika salah satu stasiun TV sukses dengan ajang pencarian bibit penyanyi, TV lain meniru dengan format yang sama hanya jenis musiknya yang berbeda. Begitu pula dengan kesuksesan tayangan sinetron bernuansa religi segera ditiru oleh stasiun TV lain sehingga sinetron religi membanjiri dunia layar kaca. Tidak hanya tayangan hiburan, tayangan jurnalistik pun dihinggapi gejala serupa. Tayangan berita politik yang hangat, sensasional dan menggebu-gebu menjadi menu seragam di seluruh stasiun televisi. Mereka memberitakan hal yang sama dengan perspektif dan gaya penyajian yang sama pula. Ketika tayangan berita kriminal dianggap sukses, tidak ada satu stasiun televisi pun yang tidak membuat program berita kriminal.
Selain mewajibkan stasiun penyiaran berbasis local, untuk menjaga keragaman informasi yang diperoleh oleh public UU Penyiaran juga membagi stasiun penyiaran menjadi empat yaitu: stasiun penyiaran swasta, stasiun penyiaran public, system penyiaran komunitas, dan stasiun penyiaran berlangganan. Pembagian ini diharapkan menerobos dominasi rating sebagai parameter tayangan. Dengan karakteristik stasiun penyiaran yang berbeda seluruh masyarakat dengan berbagai keragamannya akan dapat terlayani oleh stasiun penyiaran. Tidak seperti selama ini dimana hanya tayangan yang memiliki rating tinggi dan mampu mendatangkan pemasukan iklan lah yang akan ditayangkan. Sesuatu yang wajar sebenarnya mengingat stasiun penyiaran yang ada adalah stasiun penyiaran swasta dimana mereka menggantungkan hidupnya dari pemasukan iklan yang ada.
Menengok Kiprah KPI
Sejak dibentuk tahun 2003, KPI tidak serta-merta dapat melaksanakan tugasnya menciptakan system penyiaran demokratis seperti diamanatkan UU Penyiaran di atas. Malah dapat dikatakan dalam periode empat tahun ini, KPI terutama KPI PUsat serasa menempuh jalan terjal. Secara kelembagaan, mereka harus menata internalnya sendiri seperti menata infrastruktur organisasi dan menangani pembentukan KPI Daerah (meski yang memilih DPRD Propinsi dan Gubernur). Di sini ketegangan KPI dan Depkominfo (dulu Menegkominfo) sudah terjadi. Dukungan Depkominfo terhadap KPI di awal masa pembentukannya dari sisi anggaran sangatlah minim. Bahkan selama setahun pertama anggota KPI tidak mendapatkan gaji meski kemudian itu dirapel di tahun kedua. Tapi, hal itu telah menyebabkan kurang maksimalnya kinerja KPI.
Konflik dengan Depkominfo nampaknya terus terjadi dalam perjalanan KPI kemarin. Selain minimnya anggaran, KPI dan Depkominfo memperebutkan kewenangan perijinan. Konflik yang bermula dari keluarnya PP Penyiaran yang mengebiri kewenangan KPI dalam mengatur stasiun penyiaran khususnya dalam hal perijinan. Saking kerasnya, konflik inipun menyeret keterlibatan Komisi I DPR dan kalangan masyarakat sipil. Sebagian besar mereka menyayangkan keluarnya PP Penyiaran ini.
Selain Depkominfo, kalangan industri juga mempersoalkan eksistensi KPI. Mereka sempat mengajukan judicial review UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) dimana salah satu permohonannya adalah menghapus keberadaan KPI. Meski MK kemudian meneguhkan eksistensi KPI, namun sudah terjadi ketegangan KPI dengan industri penyiaran sebagai pihak yang mereka atur.
Habisnya energi KPI untuk menghadapi hal di atas, telah menyebabkan kurang maksimalnya upaya KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis. Dari sekian banyak regulasi yang harus dibuat KPI yang paling dikenal public mungkin peraturan KPI mengenai standar pedoman perilaku penyiaran. Namun dari sisi keragaman informasi melalui system penyiaran berbasis local dan karakteristik penyiaran yang berbeda tidak tersentuh oleh KPI. Memang, sekarang sudah banyak stasiun penyiaran local. Namun keberadaan mereka telah ada sejak sebelum KPI lahir. Stasiun penyiaran local bahkan ikut mendorong lahirnya UU Penyiaran yang artinya ikut mendorong lahirnya KPI. Selain itu, keberadaan stasiun penyiaran local didominasi oleh stasiun penyiaran swasta. Kita pantas untuk khawatir melihat fenomena ini. Oleh karena bukan tidak mungkin problem keseragaman yang terjadi pada stasiun penyiaran nasional akan bergeser. Tentunya, sebagai stasiun televisi swasta mereka akan menerapkan prinsip serupa. Tayangan apa yang menjadi top rating pasti akan dijiplak demi mendapatkan iklan. Bahkan jika tayangan top rating merupakan tayangan stasiun TV nasional, mereka pasti tidak segan mengadopsi dalam versi lokal. Atau jika ada salah satu tayangan sebuah TV lokal dianggap sukses, bukan tidak mungkin TV lokal di daerah lain akan menirunya. Apabila ini terjadi, bukan hanya keseragaman yang muncul, tapi content lokal pun akan menghilang. Lokalitas pun hanya menjadi impian.
Bahkan untuk menciptakan stasiun penyiaran local langkah Depkominfo sedikit lebih maju. Depkominfo berencana untuk “memaksa” stasiun penyiaran nasional melakukan merger guna memberikan alokasi frekuensi kepada stasiun penyiaran local. Padahal bagi stasiun penyiaran swasta yang bersifat komresial, merger atau tidak hanya didasarkan pada pertimbangan bisnis.
Harapan KPI Ke Depan
Ke depan, tentunya kita berharap KPI dapat memfokuskan upayanya menciptakan system penyiaran yang demokratis. KPI diharapkan bukan hanya sekedar “menciptakan” stasiun penyiaran local namun lebih dari itu KPI harus mendorong adanya representasi empat karakteristik stasiun penyiaran seperti dimanatkan UU Penyiaran. Adanya stasiun penyiaran dalam semua krakteristik selain akan mampu menjawab problem keseragaman, juga akan menjawab persoalan pendidikan public oleh stasiun penyiaran. Kehadiran stasiun penyiaran dengan ragam karakteristiknya diharapkan menjadi penuntun bagi masyarakat yang dia layani, agar tercipta masyarakat yang mampu membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi.
Harapan lain dalam menciptakan stasiun penyiaran demokratis adalah kemampuan KPI untuk mendorong adanya “self regulation” di kalangan stasiun penyiaran. Ini yang belum dilakukan oleh KPI. Malah KPI berusaha mengatur content televise dengan membuat peraturan mengenai standar perilaku penyiaran. Seharusnya KPI tidak mengatur content stasiun penyiaran akan tetapi lebih mendorong bagaimana stasiun penyiaran mengatur dirinya sendiri dalam hal standar tayangan televise. Sehingga dalam system penyiaran akan ada semacam “dewan pers” di media cetak yang menjadi tempat masyarakat untuk menyalurkan pengaduannya terhadsap tayangan televise.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta
.
Menuju Konsumen Televisi Yang Berdaya
Ahmad Faisol
Ada beberapa kejadian menarik berkaitan dengan tayangan televisi. Pertama, Nahdlatul Ulama’ dalam forum bahtsul masa’il berencana mengeluarkan fatwa haram terhadap tayangan infotainment. Meskipun fatwa itu akhirnya tidak diuputuskan dalam forum itu, namun sempat menjadi perbincangan yang cukup hangat di media massa. Kedua, demo yang dilakukan oleh Barisan Muda PAN (BM PAN) ke Trans TV. Mereka memprotes tayangan Selebriti Juga Manusia episode yang dibintangi Gusti Randa dan Nia Paramita karena dianggap mendiskreditkan PAN khususnya Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir. Ketiga, NU mengancam akan memboikot tayangan televisi.
Kita mungkin secara gampang dapat memaknai kejadian tersebut sebagai bentuk intervensi terhadap kreativitas dan kemerdekaan media massa khusunya televisi dalam memberikan tayangan kepada masyarakat. Atau kita juga dapat mengatakan NU atau BM PAN kurang kerjaan karena mengurusi hal yang remeh seperti infotainment dan tayangan sinetron. Padahal masih banyak masalah besar lain yang dihadapi bangsa ini seperti korupsi dan sebagainya. Namun, kita juga dapat memaknai tindakan NU dan BM PAN itu sebagai bentuk berdayanya konsumen televisi dalam relasinya dengan stasiun televisi sebagai produsen acara. Terlebih televisi menggunakan basis material gelombang elektromagnetik yang merupakan ranah publik, sehingga mereka harus selalu mengutamakan kepentingan publik.
Relasi Stasiun Televisi, Konsumen, Pengiklan
Dalam sistem penyiaran swasta, yang mendominasi stasiun penyiaran yang ada di Indonesia, berlaku hukum permintaan dan penawaran yang dapat dilihat dari interaksi antara stasiun televisi, konsumen acara dan pengiklan. Stasiun televisi harus mampu memproduksi acara atau program siaran sesuai dengan selera khalayak sehingga mampu menarik pengiklan. Ini yang menjadi parameter utama sebuah program acara untuk ditayangkan di sebuah stasiun televisi. Jika acara tersebut mampu menyedot pehatian masyarakat untuk menonton maka acara ini akan terus ditayangkan karena otomatis mendatangkan pemasukan iklan. Banyak sedikitnya masyarakat yang menonton cara dilihat melalui rating acara tersebut. Itulah kenapa rating menjadi Tuhan bagi orang TV untuk menentukan acara.
Di sini sebenarnya masyarakat sebagai konsumen televisi memiliki kekuatan untuk menentukan acara seperti apa yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Ada tiga level kekuatan masyarakat. Pertama, masyarakat dapat memilih menggunakan saluran televisi atau saluran non media atau televisi untuk memenuhi kebutuhannya khususnya kebutuhan akan informasi dan hiburan. Kedua, jika memilih saluran televisi, masyarakat dapat memilih saluran televisi mana yang akan mereka tonton dari sekian banyak stasiun televisi yang ada. Ketiga, masyarakat dapat menentukan sebuah acara terus ditayangkan atau tidak dengan pilihannya untuk menonton acara tersebut.
Namun, relasi antara konsumen, stasiun televisi dan pengiklan bukanlah relasi yang setara. Stasiun televisi masih dalam taraf “menjual” masyarakat yang menjadi konsumennya untuk mendatangkan pemasukan iklan yang sebesar-besarnya. Stasiun televisi membutuhkan masyarakat hanya untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang menonton acara tersebut. Dengan kata lain masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek jualan tanpa pernah memperdulikan apakah acara yang mereka tayangkan ini memberi manfaat bagi masyarakat atau tidak.
Belenggu Rating
Stasiun televisi terjebak kepada belenggu rating yang telah menjadi Tuhan dalam mekanisme berjalannya stasiun televisi swasta. Rating hanya melihat banyak-sedikitnya jumlah penonton. Dan pengiklan pun hanya melihat rating acara sebagai pertimbangan utama untuk memutuskan mesang iklan atau tidak. Sehingga ketika tayangan televisi penuh dengan tayangan-tayangan yang dapat dianggap sebagai suatu yang remeh-temeh, tak penting, tak esensial dan tak bermakna bagi publik keseluruhan, stasiun televisi hanya bisa berkilah masyarakat menghendaki hal tersebut yang mereka buktikan dengan tingginya rating acara tersebut.
Berbagai acara televisi memang diisi dengan acara-acara seperti itu. Sinetron, reality show, kuis dan infotainment mengisi sebagian besar slot siaran televisi. Meskipun siaran itu jelas tidak memberikan makna apa-apa bagi publik. Tayangan seperti ini akan semakin mengaburkan mana yang esensial bagi masyarakat dan mana yang tidak. Masyarakat akan semakin susah membedakan mana yang berguna dalam rangka pembentukan karakter bangsa, pendidikan publik dan pencerdasan bangsa. Sebab, energi masyarakat sudah tersedot untuk tayangan remeh-temeh seperti kawin cerai artis, kekhawatiran pacar selingkuh atau tidak serta urusan remeh -temeh lain yang ditayangkan televisi. Sekali lagi, rating menunjukkan tayangan seperti ini sangat digemari oleh masyarakat.
Pemberdayaan Konsumen Televisi
Maka untuk menyeimbangkan relasi antara stasiun televisi, konsumen dan pengiklan harus tercipta sebuah konsumen televisi yang berdaya. Dimana, mereka tidak hanya sebatas mengkonsumsi acara yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi, tapi juga mampu bertindak kritis jika memang acara yang ditayangkan tidak memberikan manfaat apa-apa bagi publik. Sebenarnya aktivitas media watch sudah sangat popular dalam melakukan monitoring, kritik terhadap media, dan advokasi publik. Berbagai hasil pantauan media telah cukup memberikan pencerahan bagi publik dalam menilai kinerja media. Namun sayangnya, aktivitas media watch masih menjadi fenomena elit karena berkembang di kalangan aktivis dan akademisi media, sementara masyarakat cenderung pasif.
Posisi masyarakat sekedar mengetahui hasil monitoring tentang media -mana saja yang tidak professional dan melanggar etika- atau sebatas mengadukan media-media yang tidak professional dan melanggar etika pada institusi yang relevan. Posisi masyarakat harus diperkuat dengan literasi media, yang menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat, dan memaknai serta menyerap pesan media.
Kini, ketika NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia sudah “turun gunung” kita dapat berharap gerakan pemberdayaan konsumen televisi ini menjadi semakin massif. Ancaman NU memboikot tayangan televisi diharapkan menjadi trigger bagi masyarakat lain untuk tidak hanya sekedar menjadi penonton televisi. Ancaman NU ini akan semakin berpengaruh jika ditunjang dengan pemberdayaan di kalangan nahdliyin seluruhnya. Jika ini terjadi, pengelola televisi pun tidak bisa sekedar berkilah masyarat menghendaki tayangan itu. Mereka harus benar-benar memperhatikan manfaat apa yang akan diperoleh publik dari tayangan tersebut.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi Jakarta.
Ahmad Faisol
Ada beberapa kejadian menarik berkaitan dengan tayangan televisi. Pertama, Nahdlatul Ulama’ dalam forum bahtsul masa’il berencana mengeluarkan fatwa haram terhadap tayangan infotainment. Meskipun fatwa itu akhirnya tidak diuputuskan dalam forum itu, namun sempat menjadi perbincangan yang cukup hangat di media massa. Kedua, demo yang dilakukan oleh Barisan Muda PAN (BM PAN) ke Trans TV. Mereka memprotes tayangan Selebriti Juga Manusia episode yang dibintangi Gusti Randa dan Nia Paramita karena dianggap mendiskreditkan PAN khususnya Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir. Ketiga, NU mengancam akan memboikot tayangan televisi.
Kita mungkin secara gampang dapat memaknai kejadian tersebut sebagai bentuk intervensi terhadap kreativitas dan kemerdekaan media massa khusunya televisi dalam memberikan tayangan kepada masyarakat. Atau kita juga dapat mengatakan NU atau BM PAN kurang kerjaan karena mengurusi hal yang remeh seperti infotainment dan tayangan sinetron. Padahal masih banyak masalah besar lain yang dihadapi bangsa ini seperti korupsi dan sebagainya. Namun, kita juga dapat memaknai tindakan NU dan BM PAN itu sebagai bentuk berdayanya konsumen televisi dalam relasinya dengan stasiun televisi sebagai produsen acara. Terlebih televisi menggunakan basis material gelombang elektromagnetik yang merupakan ranah publik, sehingga mereka harus selalu mengutamakan kepentingan publik.
Relasi Stasiun Televisi, Konsumen, Pengiklan
Dalam sistem penyiaran swasta, yang mendominasi stasiun penyiaran yang ada di Indonesia, berlaku hukum permintaan dan penawaran yang dapat dilihat dari interaksi antara stasiun televisi, konsumen acara dan pengiklan. Stasiun televisi harus mampu memproduksi acara atau program siaran sesuai dengan selera khalayak sehingga mampu menarik pengiklan. Ini yang menjadi parameter utama sebuah program acara untuk ditayangkan di sebuah stasiun televisi. Jika acara tersebut mampu menyedot pehatian masyarakat untuk menonton maka acara ini akan terus ditayangkan karena otomatis mendatangkan pemasukan iklan. Banyak sedikitnya masyarakat yang menonton cara dilihat melalui rating acara tersebut. Itulah kenapa rating menjadi Tuhan bagi orang TV untuk menentukan acara.
Di sini sebenarnya masyarakat sebagai konsumen televisi memiliki kekuatan untuk menentukan acara seperti apa yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Ada tiga level kekuatan masyarakat. Pertama, masyarakat dapat memilih menggunakan saluran televisi atau saluran non media atau televisi untuk memenuhi kebutuhannya khususnya kebutuhan akan informasi dan hiburan. Kedua, jika memilih saluran televisi, masyarakat dapat memilih saluran televisi mana yang akan mereka tonton dari sekian banyak stasiun televisi yang ada. Ketiga, masyarakat dapat menentukan sebuah acara terus ditayangkan atau tidak dengan pilihannya untuk menonton acara tersebut.
Namun, relasi antara konsumen, stasiun televisi dan pengiklan bukanlah relasi yang setara. Stasiun televisi masih dalam taraf “menjual” masyarakat yang menjadi konsumennya untuk mendatangkan pemasukan iklan yang sebesar-besarnya. Stasiun televisi membutuhkan masyarakat hanya untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang menonton acara tersebut. Dengan kata lain masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek jualan tanpa pernah memperdulikan apakah acara yang mereka tayangkan ini memberi manfaat bagi masyarakat atau tidak.
Belenggu Rating
Stasiun televisi terjebak kepada belenggu rating yang telah menjadi Tuhan dalam mekanisme berjalannya stasiun televisi swasta. Rating hanya melihat banyak-sedikitnya jumlah penonton. Dan pengiklan pun hanya melihat rating acara sebagai pertimbangan utama untuk memutuskan mesang iklan atau tidak. Sehingga ketika tayangan televisi penuh dengan tayangan-tayangan yang dapat dianggap sebagai suatu yang remeh-temeh, tak penting, tak esensial dan tak bermakna bagi publik keseluruhan, stasiun televisi hanya bisa berkilah masyarakat menghendaki hal tersebut yang mereka buktikan dengan tingginya rating acara tersebut.
Berbagai acara televisi memang diisi dengan acara-acara seperti itu. Sinetron, reality show, kuis dan infotainment mengisi sebagian besar slot siaran televisi. Meskipun siaran itu jelas tidak memberikan makna apa-apa bagi publik. Tayangan seperti ini akan semakin mengaburkan mana yang esensial bagi masyarakat dan mana yang tidak. Masyarakat akan semakin susah membedakan mana yang berguna dalam rangka pembentukan karakter bangsa, pendidikan publik dan pencerdasan bangsa. Sebab, energi masyarakat sudah tersedot untuk tayangan remeh-temeh seperti kawin cerai artis, kekhawatiran pacar selingkuh atau tidak serta urusan remeh -temeh lain yang ditayangkan televisi. Sekali lagi, rating menunjukkan tayangan seperti ini sangat digemari oleh masyarakat.
Pemberdayaan Konsumen Televisi
Maka untuk menyeimbangkan relasi antara stasiun televisi, konsumen dan pengiklan harus tercipta sebuah konsumen televisi yang berdaya. Dimana, mereka tidak hanya sebatas mengkonsumsi acara yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi, tapi juga mampu bertindak kritis jika memang acara yang ditayangkan tidak memberikan manfaat apa-apa bagi publik. Sebenarnya aktivitas media watch sudah sangat popular dalam melakukan monitoring, kritik terhadap media, dan advokasi publik. Berbagai hasil pantauan media telah cukup memberikan pencerahan bagi publik dalam menilai kinerja media. Namun sayangnya, aktivitas media watch masih menjadi fenomena elit karena berkembang di kalangan aktivis dan akademisi media, sementara masyarakat cenderung pasif.
Posisi masyarakat sekedar mengetahui hasil monitoring tentang media -mana saja yang tidak professional dan melanggar etika- atau sebatas mengadukan media-media yang tidak professional dan melanggar etika pada institusi yang relevan. Posisi masyarakat harus diperkuat dengan literasi media, yang menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat, dan memaknai serta menyerap pesan media.
Kini, ketika NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia sudah “turun gunung” kita dapat berharap gerakan pemberdayaan konsumen televisi ini menjadi semakin massif. Ancaman NU memboikot tayangan televisi diharapkan menjadi trigger bagi masyarakat lain untuk tidak hanya sekedar menjadi penonton televisi. Ancaman NU ini akan semakin berpengaruh jika ditunjang dengan pemberdayaan di kalangan nahdliyin seluruhnya. Jika ini terjadi, pengelola televisi pun tidak bisa sekedar berkilah masyarat menghendaki tayangan itu. Mereka harus benar-benar memperhatikan manfaat apa yang akan diperoleh publik dari tayangan tersebut.
Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi Jakarta.
Tulisan RUU KMIP
Jalan Terang Pembahasan RUU KMIP
Rapat Kerja Komisi I DPR dan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), yang berlangsung Senin, 5 Februari 2007 menyepakati pembentukan Komisi Informasi. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan. Selama ini, Menkominfo Sofyan Djalil ngotot menolak keberadaan Komisi Informasi.
Dalam Rapat Kerja antara Komisi I DPR dengan Menkominfo dan Menhukham 20 Juni 2006 yang membahas Daftar Isian Masalah (DIM) RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP), Menteri Sofyan Jalil menyatakan menolak keberadaan badan informasi publik yang bersifat independen atau yang lebih dikenal dengan Komisi Informasi. Menkominfo beralasan komisi-komisi independen yang sudah ada sebelumnya tidak efektif kinerjanya dan lebih terkesan menghabiskan anggaran serta bagi-bagi jabatan.
Bahkan dalam rapat kerja pembahasan RUU KMIP sebelumnya, 29 Januari 2007, Menteri Sofyan Djalil masih menyodorkan konsep panitia ad hoc untuk penyelesaian sengketa informasi. Oleh karena itu, sikap menteri menerima Komisi Informasi merupakan sebuah langkah maju. Kita harus memberi penghargaan atas sikap Menteri Sofyan Djalil ini.
Komisi Informasi dalam UU KMIP
Keberadaan Komisi Informasi dalam UU KMIP bukanlah bentuk kelatahan mengikuti fenomena pembentukan komisi independen dalam setiap undang-undang. Komisi Informasi merupakan pilar pelaksana UU KMIP. Komisi ini memiliki tugas untuk membuat standar-standar penyediaan informasi publik oleh badan publik dan memiliki wewenang dalam hal penyelesaian sengketa akses informasi.
Informasi memiliki sifat dinamis dan berubah dengan cepat. Sesuatu yang hari ini dianggap aktual, minggu depan atau bulan depan sudah dianggap sesuatu yang basi. Oleh karenanya, badan penyelesaian sengketa informasi harus memiliki karakteristik independen, murah, sederhana, dan cepat. Jika melihat praktek lembaga peradilan di Indonesia, hampir tidak mungkin sengketa informasi diselesaikan di sana. Prosedur penyelesaian sengketa di pengadilan memerlukan waktu dan proses yang lama.
Selain itu, pengaturan jenis-jenis informasi yang dapat diakses oleh publik atau yang dikecualikan tidak dapat diserahkan kepada badan publik itu sendiri. Badan publik merupan obyek yang diatur oleh undang-undang ini. Jika pengaturan mengenai informasi yang boleh dibuka atau tidak diserahkan pada mereka, muncul kekhawatiran akan adanya konflik kepentingan (conflict of interest). Berdasarkan argumen tersebut, kita dapat menyebut Komisi Informasi sebagai ruh pelaksana UU KMIP. Tanpa Komisi Informasi, UU KMIP akan seperti wayang ilang gapite.
Komisi Informasi di Berbagai Negara
Negara-negara lain yang telah memiliki UU KMIP juga memiliki Komisi Informasi dengan berbagai nama dan kewenangannya. Komisi Informasi di negara-negara tersebut umumnya memiliki tugas melakukan pemantauan jalannya pelaksanaan UU KMI serta tugas-tugas lain yang lebih aluas. Di Inggris, Komisi Informasi berwenang melakukan penyelidikan atas pengaduan dari peminta informasi yang ditolak permintaannya. Demikian halnya di Kanada. Bahkan Komisi Informasi Kanada juga berwenang menghadap dan mengajukan pengaduan kepada lembaga pengadilan mengenai penolakan lembaga pemerintah untuk melepaskan informasi.
UU KMIP Afrika Selatan memberaikan kewenangan kepada Komisi Informasi di sana untuk melakukan sosialisasi keberadaan UU KMIP dan setiap tahun harus meninjau kembali keberadaan undang-undang tersebut. Komisi Informasi Afrika Selatan juga berwenang meninjau proses legislasi undang-undang lain yang mempunyai dampak terhadap kebebasan informasi. Pengalaman negara lain tersebut menunjukkan betapa krusialnya keberadaan Komisi Informasi dalam UU KMIP.
Mengawal Komisi Informasi
Kita memang patut menyambut baik sikap pemerintah menerima keberadaan Komisi Informasi. Ini dapat menjadi titik terang dalam percepatan proses legislasi RUU KMIP. Salah satu hal yang diperkirakan menjadi penghambat proses pembahasan RUU KMIP adalah tarik-ulur mengenai keberadaan Komisi Informasi. Sehingga hilang sudah satu hambatan ini.
Namun demikian, bukan berarti pengawalan proses legislasi RUU KMIP berhenti di sini. Saat ini, proses legislasi RUU KMIP masih dalam tahap pembahasan Daftar Isian Masalah (DIM). Selanjutnya masih harus menempuh tahap panitia kerja (panja) dan penetapannya di Rapat Paripurna. Masyarakat harus mengawal proses ini agar substansi UU KMIP yang dihasilkan nanti tidak mengebiri keberadaan komisi ini. Artinya, jangan sampai pengaturan mengenai Komisi Informasi hanya sekedar menjadi tempelan pemanis UU KMIP.
Pasca pengesahan UU KMIP, masyarakat pun harus terus mengawal Komisi Informasi untuk menjamin mereka dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kita dapat belajar dari pengalaman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga yang diharapkan mampu menjadi badan pengatur lembaga penyiaran harus tertatih-tatih karena kewenangannya dipangkas oleh pemerintah. Pemerintah memang menerima keberadaan KPI. Tapi, dalam peraturan pemerintah yang menjadi wewenangnya, KPI dibonsai agar tidak dapat berfungsi secara maksimal. Tak mengherankan jika selama periode 2002-2006, KPI senantiasa sibuk menghadapi konflik dengan pemerintah dan tugas utamanya pun tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dari pengalaman tersebut, pengesahan UU KMIP tidak dapat dijadikan sebagai dari akhir pengawalan proses legislasi RUU KMIP. Masyarakat sipil juga harus memberikan perhatian kepada pembuatan peraturan turunan sebagai pelaksanaan UU KMIP. Bahkan ketika nanti Komisi Informasi sudah bertugas pun, pengawalan harus dilakukan untuk memastikan terjaminnya hak masyarakat mengakses informasi publik. Tentu saja dengan mudah, murah, dan cepat.
Ahmad Faisol,
penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta, aktif di Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi.
Rapat Kerja Komisi I DPR dan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), yang berlangsung Senin, 5 Februari 2007 menyepakati pembentukan Komisi Informasi. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan. Selama ini, Menkominfo Sofyan Djalil ngotot menolak keberadaan Komisi Informasi.
Dalam Rapat Kerja antara Komisi I DPR dengan Menkominfo dan Menhukham 20 Juni 2006 yang membahas Daftar Isian Masalah (DIM) RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP), Menteri Sofyan Jalil menyatakan menolak keberadaan badan informasi publik yang bersifat independen atau yang lebih dikenal dengan Komisi Informasi. Menkominfo beralasan komisi-komisi independen yang sudah ada sebelumnya tidak efektif kinerjanya dan lebih terkesan menghabiskan anggaran serta bagi-bagi jabatan.
Bahkan dalam rapat kerja pembahasan RUU KMIP sebelumnya, 29 Januari 2007, Menteri Sofyan Djalil masih menyodorkan konsep panitia ad hoc untuk penyelesaian sengketa informasi. Oleh karena itu, sikap menteri menerima Komisi Informasi merupakan sebuah langkah maju. Kita harus memberi penghargaan atas sikap Menteri Sofyan Djalil ini.
Komisi Informasi dalam UU KMIP
Keberadaan Komisi Informasi dalam UU KMIP bukanlah bentuk kelatahan mengikuti fenomena pembentukan komisi independen dalam setiap undang-undang. Komisi Informasi merupakan pilar pelaksana UU KMIP. Komisi ini memiliki tugas untuk membuat standar-standar penyediaan informasi publik oleh badan publik dan memiliki wewenang dalam hal penyelesaian sengketa akses informasi.
Informasi memiliki sifat dinamis dan berubah dengan cepat. Sesuatu yang hari ini dianggap aktual, minggu depan atau bulan depan sudah dianggap sesuatu yang basi. Oleh karenanya, badan penyelesaian sengketa informasi harus memiliki karakteristik independen, murah, sederhana, dan cepat. Jika melihat praktek lembaga peradilan di Indonesia, hampir tidak mungkin sengketa informasi diselesaikan di sana. Prosedur penyelesaian sengketa di pengadilan memerlukan waktu dan proses yang lama.
Selain itu, pengaturan jenis-jenis informasi yang dapat diakses oleh publik atau yang dikecualikan tidak dapat diserahkan kepada badan publik itu sendiri. Badan publik merupan obyek yang diatur oleh undang-undang ini. Jika pengaturan mengenai informasi yang boleh dibuka atau tidak diserahkan pada mereka, muncul kekhawatiran akan adanya konflik kepentingan (conflict of interest). Berdasarkan argumen tersebut, kita dapat menyebut Komisi Informasi sebagai ruh pelaksana UU KMIP. Tanpa Komisi Informasi, UU KMIP akan seperti wayang ilang gapite.
Komisi Informasi di Berbagai Negara
Negara-negara lain yang telah memiliki UU KMIP juga memiliki Komisi Informasi dengan berbagai nama dan kewenangannya. Komisi Informasi di negara-negara tersebut umumnya memiliki tugas melakukan pemantauan jalannya pelaksanaan UU KMI serta tugas-tugas lain yang lebih aluas. Di Inggris, Komisi Informasi berwenang melakukan penyelidikan atas pengaduan dari peminta informasi yang ditolak permintaannya. Demikian halnya di Kanada. Bahkan Komisi Informasi Kanada juga berwenang menghadap dan mengajukan pengaduan kepada lembaga pengadilan mengenai penolakan lembaga pemerintah untuk melepaskan informasi.
UU KMIP Afrika Selatan memberaikan kewenangan kepada Komisi Informasi di sana untuk melakukan sosialisasi keberadaan UU KMIP dan setiap tahun harus meninjau kembali keberadaan undang-undang tersebut. Komisi Informasi Afrika Selatan juga berwenang meninjau proses legislasi undang-undang lain yang mempunyai dampak terhadap kebebasan informasi. Pengalaman negara lain tersebut menunjukkan betapa krusialnya keberadaan Komisi Informasi dalam UU KMIP.
Mengawal Komisi Informasi
Kita memang patut menyambut baik sikap pemerintah menerima keberadaan Komisi Informasi. Ini dapat menjadi titik terang dalam percepatan proses legislasi RUU KMIP. Salah satu hal yang diperkirakan menjadi penghambat proses pembahasan RUU KMIP adalah tarik-ulur mengenai keberadaan Komisi Informasi. Sehingga hilang sudah satu hambatan ini.
Namun demikian, bukan berarti pengawalan proses legislasi RUU KMIP berhenti di sini. Saat ini, proses legislasi RUU KMIP masih dalam tahap pembahasan Daftar Isian Masalah (DIM). Selanjutnya masih harus menempuh tahap panitia kerja (panja) dan penetapannya di Rapat Paripurna. Masyarakat harus mengawal proses ini agar substansi UU KMIP yang dihasilkan nanti tidak mengebiri keberadaan komisi ini. Artinya, jangan sampai pengaturan mengenai Komisi Informasi hanya sekedar menjadi tempelan pemanis UU KMIP.
Pasca pengesahan UU KMIP, masyarakat pun harus terus mengawal Komisi Informasi untuk menjamin mereka dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kita dapat belajar dari pengalaman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga yang diharapkan mampu menjadi badan pengatur lembaga penyiaran harus tertatih-tatih karena kewenangannya dipangkas oleh pemerintah. Pemerintah memang menerima keberadaan KPI. Tapi, dalam peraturan pemerintah yang menjadi wewenangnya, KPI dibonsai agar tidak dapat berfungsi secara maksimal. Tak mengherankan jika selama periode 2002-2006, KPI senantiasa sibuk menghadapi konflik dengan pemerintah dan tugas utamanya pun tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dari pengalaman tersebut, pengesahan UU KMIP tidak dapat dijadikan sebagai dari akhir pengawalan proses legislasi RUU KMIP. Masyarakat sipil juga harus memberikan perhatian kepada pembuatan peraturan turunan sebagai pelaksanaan UU KMIP. Bahkan ketika nanti Komisi Informasi sudah bertugas pun, pengawalan harus dilakukan untuk memastikan terjaminnya hak masyarakat mengakses informasi publik. Tentu saja dengan mudah, murah, dan cepat.
Ahmad Faisol,
penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta, aktif di Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi.
Subscribe to:
Comments (Atom)