Sunday, July 16, 2006

Berharap Dari Era TV Lokal

Era siaran TV nasional telah berakhir. Memang sesuai amanat UU No 32/2002 tentang penyiaran, siaran TV nasional harus berakhir tahun 2005. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama Komisi I DPR pun sedang menyelesaikan finalisasi rancangan peraturan pemerintah tentang lembaga penyiaran swasta yang melarang siaran TV nasional. Artinya jangkauan siaran TV akan dibatasi. Tidak mengherankan apabila ada yang menyebut bahwa sekarang ini adalah era TV lokal.

Seiring dengan terbitnya era TV lokal saya mencatat ada dua harapan adanya TV lokal yang akan tumbuh di berbagai daerah. Pertama, stasiun TV lokal mampu menghadirkan keragaman tayangan. Kedua, stasiun TV lokal mampu melakukan semacam public education bagi masyarakat yang ada dalam jangkauan siarannya.

*****

Kehadiran TV lokal terutama memang dimaksudkan untuk mengakomodir content-content lokal yang selama ini terpinggirkan dari layar kaca. Namun saya kira tidak cukup hanya berhenti sampai di sini. TV lokal yang ada juga harus mampu menjaga keragaman tayangan. Sebab, jika nanti TV lokal juga terjebak ke dalam keseragaman tayangan, hanya akan memindahkan problem dari TV nasional ke TV lokal.

Salah satu problem dunia pertelevisian sekarang adalah homogenisasi tayangan. Ketika salah satu stasiun TV sukses dengan ajang pencarian bibit penyanyi, TV lain akan meniru dengan format yang sama hanya jenis musiknya yang berbeda. Begitu pula dengan kesuksesan tayangan sinetron bernuansa religi segera ditiru oleh stasiun TV lain sehingga sinetron religi membanjiri dunia layar kaca.

Tidak hanya tayangan hiburan, tayangan jurnalistik pun dihinggapi gejala serupa. Tayangan berita politik yang hangat, sensasional dan menggebu-gebu menjadi menu seragam di seluruh stasiun televisi. Mereka memberitakan hal yang sama dengan perspektif dan gaya penyajian yang sama pula. Ketika tayangan berita kriminal dianggap sukses, tidak ada satu stasiun televisi pun yang tidak membuat program berita kriminal.

Sehingga sulit rasanya untuk menemukan stasiun televisi yang memiliki spesialisasi tertentu. Metro TV yang dulunya mengklaim sebagai stasiun televisi berita sudah sulit mempertahankan image tersebut. Karena Metro TV pun juga harus menayangkan film dan hiburan musik. Sehingga Veven Wardhana (2001) dengan menggelitik menyebutkan, jika kita menutup logo stasiun televisi yang ada di pojok kiri atau kanan layar maka kita akan susah mengetahui stasiun televisi mana yang sedang bersiaran.

Argumen yang biasanya mendasari fenomena penyeragaman tersebut, adalah tuntutan keberadaan stasiun televisi swasta komersial. Dengan rating sebagai patokan keberhasilan, stasiun televisi akan mengekor tayangan-tayangan yang memiliki rating tinggi. Karena dengan cara seperti ini mereka akan mendapatkan pemasukan iklan yang cukup besar.

Berdasar fenomena di atas, rasanya kita pantas untuk khawatir. Sebab, keberadaan TV lokal yang kebanyakan merupakan stasiun televisi swasta komersial. Oleh karenanya bukan tidak mungkin problem keseragaman akan bergeser. Tentunya, sebagai stasiun televisi swasta mereka akan menerapkan prinsip serupa. Tayangan apa yang menjadi top rating pasti akan dijiplak habis-habisan demi mendapatkan iklan. Bahkan jika tayangan top rating merupakan tayangan stasiun TV nasional, mereka pasti tidak segan mengadopsi dalam versi lokal. Atau jika ada salah satu tayangan sebuah TV lokal dianggap sukses, bukan tidak mungkin TV lokal di daerah lain akan menirunya. Apabila ini terjadi, bukan hanya keseragaman yang muncul, tapi content lokal pun akan menghilang. Lokalitas pun hanya menjadi impian.

*****

Harapan lain dari berseminya TV lokal adalah kemampuannya melakukan pendidikan publik kepada masyarakat yang dilayaninya. Harapan ini bersumber kenyataan bahwa stasiun televisi selain menjadi entitas modal juga memiliki kewajiban sosial. Ini merupakan konsekuensi dari televisi yang menggunakan ranah publik frekuensi sebagai basis material siarannya.

Problem lain yang juga dirasakan muncul dari tayangan televisi sekarang adalah maraknya tayangan yang bersifat “banal”. Dalam arti ada fenomena merajalelanya tayangan-tayangan yang dapat dianggap sebagai suatu yang remeh-temeh, tak penting, tak esensial dan tak bermakna bagi publik keseluruhan. Berbagai acara sinetron, reality show, kuis dan infotainment mengisi sebagian besar slot siaran televisi. Meskipun siaran itu jelas tidak memberikan makna apa-apa bagi publik. Tayangan seperti ini akan semakin mengaburkan mana yang esensial bagi masyarakat dan mana yang tidak. Masyarakat akan semakin susah membedakan mana yang berguna dalam rangka pembentukan karakter bangsa, pendidikan publik dan pencerdasan bangsa. Sebab, energi masyarakat sudah tersedot untuk tayangan remeh-temeh seperti kawin cerai artis, kekhawatiran pacar selingkuh atau tidak serta urusan remeh -temeh lain yang ditayangkan televisi.

Dampaknya dalam jangka panjang akan terjadi depolitisasi masyarakat. Dimana akan tercipta sebuah budaya politik yang lemah, penuh apatisme dan egoisme yang sangat kental di masyarakat. Menurut Mc Chesney (1997) keadaan ini akan menghancurkan tiga syarat terbentuknya masyarakat yang demokratis: hilangnya ketimpangan sosial, terbentuknya kesadaran kolektif untuk menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, dan adanya komunikasi politik yang memungkinkan masyarakat terlibat aktif dalam proses pembentukan kebijakan publik.

Kehadiran TV lokal diharapkan menjadi penuntun bagi masyarakat yang dia layani, agar tercipta masyarakat yang mampu membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi. Sekaligus masyarakat yang secara aktif terlibat dalam kebijakan publik. Harapan ini sekaligus menjadi tantangan yang harus dijawab oleh era TV lokal. Mampukah era TV lokal mampu menghadirkan keragaman tayangan dan memberikan pendidikan publik bagi masyarakatnya? Semoga.

No comments: