Thursday, July 20, 2006

Peringatan Bencana dan Hak Masyarakat Memperoleh Informasi

Bencana tsunami yang melanda Pantai Selatan Jawa ternyata sudah diprediksikan sebelumnya. Menristek Kusmayanto Kadiman mengakui telah menerima peringatan adanya tsunami dari dua lembaga regional: Pacific Tsunami Warning Center dan Badan Meteorologi Jepang (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Namun peringatan itu tidak pernah disampaikan kepada masyarakat. Menteri Kusmayanto beralasan tidak memiliki system yang otomatis seperti loudspeaker atau SMS untuk menyampaikan informasi tersebut. Selain ada kekhawatiran akan menimbulkan kepanikan masyarakat sementara bencana tsunami belum tentu terjadi.

Kita patut mengecam sikap Menristek yang tidak mengumumkan peringatan kemungkinan adanya tsunami kepada masyarakat. Kita mungkin dapat berandai-andai seandainya Menristek mengumumkan peringatan adanya tsunami tentu jumlah korban jiwa yang cukup besar dapat dihindari. Namun terlepas benar tidaknya pengandaian tersebut, sikap Menristek tersebut membuktikan adanya keengganan pejabat untuk memberikan informasi public kepada masyarakat. Di sini terlihat ada problem pada transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.

Problem Transparansi
Problem transparansi pemerintahan telah menjadi salah satu masalah yang harus dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Dalam menyelenggarakan keuasaan pemerintahan, pemerintah telah menjadikan dirinya sebagai rejim ketertutupan dan kerahasiaan yang terpisah dari masyarakat. Artinya pemerintah tidak membuka dirinya dan tidak memberikan akses informasi kepada masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak dapat mengontrol jalannya pemerintahan karena tidak cukup memiliki pemahaman dan informasi.

Bahkan untuk informasi yang menyangkut keselamatan jiwa dan hilangnya harta benda masyarakat pun pemerintah masih tidak mau membuka informasi. Seperti sikap menristek di atas. Alasan bahwa jika peringatan disampaikan akan menimbulkan kepanikan di masyarakat terlebih jika tsunami tidak terjadi bukanlah sebuah pembenaran. Entah terjadi atau tidak, seharusnya pemerintah berkewajiban megumumkannya kepada masyarakat Pemerintah harus bersikap sedia payung sebelum hujan. Tidak seperti sekarang ini, ketika bencana sudah terjadi barulah peringatan itu dibuka kepada public.

Jika alasan seperti ini yang disampaikan kita pun patut curiga bahwa pemerintah juga sengaja tidak mengumumkan status Yogyakarta sebagai daerah rawan bencana dengan alasan daerah tersebut pariwisata. Baru setelah bencana terjadi, barulah masyarakat mengetahui bahwa Yogyakarta ternyata berada di daerah rawan bencana. Kecurigaan yang sama juga dapat dialamatkan untuk kasus Lumpur yang melanda Porong, Sidoarjo. Apakah masyarakat Porong memang sudah mendapatkan informasi bahwa ketika ada penambangan di daerahnya maka dapat timbul akibat luapan lumpur panas yang seperti terjadi sekarang ini. Lalu jika terjadi luapan lumpur panas langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh masyarakat. Termasuk kompensasi seperti apa yang diperoleh masyarakat dan bagaiman mekanisme memperolehnya. Melihat penyelesaian kasus lumpur Sidoarjo yang berlarut-larut nampaknya masyarakat tidak mendapatkan informasi memadai mengenai hal ini. Selain contoh tersebut banyak sekali contoh kasus yang menunjukkan betapa pejabat atau pemerintah enggan memberikan informasi publik kepada masyarakat.


Problem Hak Masyarakat Memperoleh Informasi
Selain problem transparansi, uraian di atas juga menunjukkan adanya problem hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Ada dua factor penyebab munculnya problem tersebut yang dapat dicatat di sini. Pertama, pejabat maupun pemerintah memperlakukan informasi sebagai hak miliknya. Konsekuensinya mereka dapat menentukan sendiri informasi mana yang akan disampaikan kepada masyarakat serta informasi mana yang mereka tahan. Sikap menristek yang tidak mengumumkan peringatan kemungkinan adanya tsunami, contoh nyata perilaku ini. Menristek dengan pertimbangan dan pemikirannya sendiri memutuskan peringatan yang dia peroleh tidak diumumkan kepada masyarakat, seakan-akan informasi tersebut adalah miliknya sendiri. Padahal sebagai pejabat public, mereka bukanlah pemilik informasi public melainkan hanya sebagai pengelola demi kebaikan masyarakat.

Faktor kedua, di Indonesia belum ada regulasi yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Termasuk di dalamnya pedoman bagi pejabat public memperlakukan sebuah informasi public sesuai dengan klasifikasinya. Ketiadaan pedoman perlakuan informasi menurunkan sikap pejabat public yang merasa memiliki informasi public. Sebenarnya di Indonesia banyak regulasi yang mengakui hak masyarakat untuk mengakses informasi public. Namun, karena tidak ada regulasi yang mewajibkan kepada pejabat public untuk memberikan informasi public maka hak ini seringkali diabaikan. Terlebih tidak ada sanksi bagi pejabat public yang lalai menyediakan informasi public bagi masyarakat. Di sini kita dapat bertanya adakah sanksi bagi menristek yang tidak mengumumkan informasi peringatan adanya tsunami sehingga ratusan jiwa menjadi korban.


Kebutuhan Akan Regulasi
Kejadian ini menunjukkan kepada kita adanya suatu kebutuhan akan adanya regulasi yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Konteks Indonesia, aturan mengenai hal tersebut sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah dalam bentuk RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP). Selain menjamin hak masyarakat memperoleh informasi, RUU usulan DPR ini memberikan pedoman kepada pejabat public memperlakukan informasi public. UU KMIP membagi informasi menjadi 4 jenis yaitu: informasi yang serta-merta harus diumumkan, informasi yang harus diumumkan segera, informasi yang secara rutin harus disampaikan dan informasi yang dikecualikan. Untuk informasi yang serta-merta harus diumumkan, pejabat public harus menyampaikannya kepada masyarakat tanpa menunggu apakah ada permintaan masyarakat atau tidak. Informasi mengenai peringatan bencana masuk dalam kategori ini sehingga jika undang-undang ini sudah berlaku, kita dapat menjerat kelalaian menristek ini.
Akhirnya, kita harus mendorong Komisi I DPR dan pemerintah agar segera menyelesaikan proses legislasi RUU KMIP agar di masa depan sikap pejabat public seperti yang telah ditunjukkan menristek ini tidak terulang lagi. Cukup sekali saja keteledoran pejabat yang membawa petaka korban ratusan jiwa.

Ahmad Faisol, bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta.

No comments: