Oleh Ahmad Faisol
Manfaat yang paling diharapkan dari keberadaan media massa adalah untuk menjadi anjing penjaga (watchdog). Artinya, media massa menjadi pengawas penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan masyarakat. Perilaku inilah yang diperlihatkan oleh salah satu media Inggris, The Guardian. Media ini mengungkap terjadinya skandal dalam penjualan 100 unit tank Scorpion dari Inggris ke Indonesia kurun waktu 1994-1996. Pemberitaan The Guardian bergema di Indonesia dengan tuntutan penuntasan indikasi korupsi yang terjadi.
Namun, patut dipertanyakan mengapa koran itu mampu mengungkap kasus yang sedemikian besar? Lalu bagaimana dengan media di Indonesia?Apakah mereka juga memiliki kemampuan tersebut? Apa yang telah dilakukan oleh The Guardian sebenarnya mampu dilakukan oleh setiap media massa. Karena, sudah menjadi kodrat media untuk selalu berteriak melihat penyimpangan yang terpampang di depan matanya. Jika sekarang pelakunya The Guardian ini hanyalah persoalan lingkungan tempat media ini hidup. The Guardian mampu mengungkap kasus ini karena adanya jaminan dari Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi yang diterapkan di Inggris.
Dengan payung undang-undang tersebut, The Guardian berhasil memiliki akses terhadap data-data yang terungkap di persidangan persengketaan fee penjualan tank Scorpion. Sehingga, meskipun pihak-pihak yang bersengketa sepakat berdamai, namun The Guardian dapat membuka kasus ini kepada publik. Tanpa adanya UU Kebebasan Memperoleh Informasi tidak mungkin kasus ini mampu diungkap. Sebab, di Inggris pemberian komisi dalam kontrak-kontrak besar pernah dianggap sebagai hal yang biasa. Aturan yang melarang pemberian komisi baru ada tahun 2002. Itupun tidak berlaku surut.
Tak Cukup Efektif
The Guardian mampu meyakinkan bahwa kasus ini menyangkut kepentingan publik. Media ini berargumen pembayaran Scorpion tersebut sampai sekarang belum lunas akibat dijadwal ulang karena krisis ekonomi melanda Indonesia. Akibatnya lembaga negara yang bergerak dalam asuransi ekspor-impor menanggung tunggakan 93 juta pound ke perusahaan penjual tank. Argumen inilah yang akhirnya diikuti oleh pengadilan. Sehingga dengan alasan agar tidak melanggar hak publik untuk mendapatkan informasi, pengadilan mengizinkan Guardian membuka data-data yang terungkap di pengadilan.
Bagaimana dengan media di Indonesia? Nampaknya media di Indonesia tidak seberuntung rekan-rekannya di Inggris. Di Indonesia belum ada jaminan hukum yang memungkinkan media massa melakukan fungsi pengawasan secara maksimal. Oleh karena itu, banyak sekali tekanan-tekanan terhadap media massa yang mencoba melakukan fungsi pengawasan. Sekadar contoh, pembredelan media massa (Tempo, Editor, dan Detik) yang mencoba menelusuri dugaan penyimpangan pembelian kapal perang eks Jerman Timur di masa orde baru.
Tekanan dalam bentuk berbeda juga masih dialami media massa memasuki era reformasi. Adanya UU Pers no 40/1999 tidak cukup menjadi jaminan media massa melaksanakan fungsi pengawasan. Undang-undang ini tidak cukup efektif untuk memaksa pejabat dan badan pemerintah memberikan informasi berkaitan dengan kasus-kasus korupsi tertentu. Para pejabat tersebut dapat berlindung di balik klausul rahasia negara, rahasia jabatan dan rahasia pribadi yang ada dalam KUHP dan produk hukum lain. Bahkan justru wartawan dapat dituntut balik dengan tuduhan melanggar rahasia negara atau melakukan pencemaran nama baik.
Bahkan dengan alasan melakukan pencemaran nama baik, banyak wartawan yang dipidanakan. Sebagai misal vonis pidana yang menimpa Bambang Harimurti dari Majalah Tempo dan Risang Bima Wijaya dari Radar Jogja atas berita yang mereka turunkan. Padahal di balik kerja jurnalistik seorang wartawan tersembunyi kepentingan umum: hak-hak publik untuk mendapatkan informasi dan hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan urusan-urusan publik.
Keamanan Usaha
Selain tekanan dari lingkungan luar media, lingkungan media massa sendiri juga kurang kondusif. Sebagian pimpinan media massa hanya melihat media yang dipimpin sebagai entitas ekonomi. Dengan demikian mengamankan aset atau menaikkan tiras adalah alasan utama dalam menurunkan sebuah berita. Dampaknya, upaya-upaya menyingkap adanya penyimpangan bisa dikesampingkan. Apalagi bila hal tersebut berakibat buruk pada keamanan usaha atau kenaikan oplah dan iklan.
Merujuk pengalaman The Guardian di atas, diperlukan sebuah regulasi hukum yang dapat memberikan jaminan hukum kepada media. Jaminan hukum ini akan melindungi media massa dalam melakukan fungsi pengawasan. Regulasi ini harus mampu menjadi payung. Maksudnya, regulasi tersebut dapat mengkoordinasikan dan menyelaraskan berbagai aturan yang menjamin pelaksanaan fungsi pengawasan media massa.
Regulasi yang urgent dengan hal ini adalah sebuah UU Kebebasan Memperoleh Informasi. Sebab, undang-undang ini akan mampu menghilangkan kendala ketertutupan akses informasi. Kendala yang sering ditemui media massa ketika mengungkap kasus korupsi atau penyimpangan lainnya.
Selain itu, UU Kebebasan Memperoleh Informasi juga dapat melindungi media massa dari segala bentuk perilaku yang represif baik langsung maupun tak langsung. Undang-undang ini akan melindungi media massa dan wartawan dari segala konsekuensi akibat kerja jurnalistiknya.
Dengan demikian, UU Kebebasan Informasi akan membentuk lingkungan yang kondusif bagi media massa untuk melakukan pengawasa. Tekanan-tekanan terhadap media massa dapat dihilangkan dengan undang-undang ini. Hilangnya tekanan ini, diharapkan juga mengubah perilaku sebagian lingkungan dalam media. Akhirnya, kita pun dapat berharap media massa di Indonesia ”galak” terhadap segala jenis penyimpangan.
Penulis adalah peneliti di ISAI Jakarta dan aktif di Koalisi Untuk Kebebasan Memperoleh Informasi
Sunday, July 16, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment