Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofyan Jalil menjanjikan bahwa tahun 2005 Pemerintah akan mengajukan Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara agar dapat dibahas secara bersamaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menteri berargumen, kedua RUU itu mengatur persoalan yang kurang lebih sama –prinsip-prinsip keterbukaan dan kerahasiaan informasi-- sehingga ada potensi tumpang tindih jika dibahas secara terpisah. Namun sejauhmanakah urgensi penyatuan pembahasan kedua RUU itu? Apa konsekuensi-konsekuensi yang akan muncul?
Perbedaan Paradigma Antara UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan UU Rahasia Negara
Meskipun terkait erat, UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan UU Rahasia Negara memiliki paradigma yang berbeda. Perbedaan ini dilandasi dari tujuan kedua undang-undang tersebut. UU Rahasia Negara bertujuan untuk menjaga keselamatan negara dengan banyak menutup akses publik terhadap berbagai informasi. Sebaliknya UU Kebebasan Memperoleh Informasi bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Bentuk partisipasi yang dimaksud adalah pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan publik. Hal ini mensyaratkan terbukanya akses publik terhadap berbagai informasi.
Implikasinya, terdapat perbedaan prinsip masing-masing undang-undang. UU Kebebasan Memperoleh Informasi menganut prinsip maximum access limited exemption. Dimana seluruh informasi pada hakikatnya bersifat terbuka. Hanya sebagian kecil informasi yang sifatnya rahasia atau dikecualikan. Penerapan prinsip ini diperjelas sebagai berikut: pemberlakuan pengecualian harus didasarkan pada asas kehatia-hatian, pemberlakuan status kerhasiaan terhadap informasi memiliki batas waktu, ruang lingkup badan publik tidak terbatas pada institusi negara tetapi juga institusi di luar negara yang mendapatkan serta menggunakan anggaran negara. Sedangkan, UU Rahasia Negara justru menganut prinsip limited access maximum exemption. Artinya UU Rahasia Negara memandang seluruh informasi pada hakikatnya bersifat rahasia. Hanya sebagian kecil informasi yang dapat dibuka untuk publik.
Pemerintahan yang dihasilkan pun juga akan berbeda. Penerapan UU Kebebasan Memperoleh Informasi akan menghasilakn sebuah pemerintahan yang terbuka dan transparan. Sementara, UU Rahasia Negara akan menghasilan sebuah pemerintahan yang tertutup
Menilik perbedaan paradigma di atas, penyatuan pembahasan kedua undang-undang itu hampir tidak mungkin dilakukan. Karena, apa yang menjadi concern dari UU Kebebasan Memperoleh Informasi akan bertentangan dengan apa yang menjadi concern dari UU Rahasia Negara. Hal yang lebih urgent untuk dilakukan adalah memfokuskan kepada persinggungan dari kedua undang-undang tersebut. Yaitu aspek pengecualian informasi dalam undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi. Ketimbang menghabiskan energi menyatukan dua hal yang berlawanan.
Prinsip Pengecualian dalam RUU Kebebasan Memperoleh Informasi
Seperti telah disinggung di atas, persinggungan UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan UU Rahasia Negara adalah adanya prinsip informasi yang dikecualikan dalam UU Kebebasan Memperoleh Informasi.
Persinggungan prinsip-prinsip keterbukaan dan kerahasiaan informasi telah diakomodir oleh RUU Kebebasan Informasi hasil pembahasan DPR periode 1999-2004. Pengakuan terhadap informasi yang dapat dikecualikan itu diatur secara detail dan komprehensif pada pasal 15 RUU ini. Di situ disebutkan sebuah informasi harus dibuka kepada publik kecuali apabila dibukanya informasi tersebut menimbulkan akibat-akibat: (1) informasi publik yang apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum meliputi menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana, (2) mengungkapkan identitas informasi, pelapor, saksi dan/atau korban yang mengetahui adanya kejahatan, (3) mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan kegiatan kriminal dan terorisme, (4) membahayakan keselamatan dan kehidupan petugas penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau (5) membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.
Kategori kedua adalah informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.
Kategori ketiga adalah informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang-orang dapat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional, yang meliputi: (1) informasi tentang intelijen, taktik,strategi pertahanan, dan keamanan negara dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri; (2) dokumentasi yang memuat rencana strategi pelaksanaan peperangan; (3) data perkiraan keamanan militer negara lain; (4) jumlah dan komposisi satuan tempur dan rencana pengembangan; dan/atau (5) keadaan pangkalan tempur.
Malah, kategori pengecualian dalam RUU Kebebasan Memperoleh Informasi juga memasukkan kategori yang melindungi privasi seseorang dengan adanya kategori informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat melanggar kerahasiaan pribadi yang meliputi: (1) informasi yang mengungkapkan riwayat, kondisi dan perawatan kesehatan fisik, psikiatrik, dan psikologik seseorang; (2) mengungkapkan asal-usul atau keterkaitan dengan ras, etnis, keyakinan agama, orientasi seksual, dan politik seseorang; (3) mengungkapkan kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; dan/atau (4) informasi yang mengungkapkan tentang hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, atau rekomendasi kemampuan seseorang.
Tumpang Tindihnya Regulasi Menimbulkan Ketidakpastian Hukum
Adanya kategori informasi yang dikecualikan pada RUU Kebebasan Informasi membuat penyatuan pembahasan kedua RUU tersebut menjadi semakin tidak urgent. Karena itulah yang menjadi inti dari UU Rahasia Negara. Penyatuan pembahasan kedua undang-undang tersebut bukannya menghindari tumpang tindih seperti argumen menkominfo. Penyatuan tersebut justru akan menyebabkan tumpang-tindihnya regulasi yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Potensi tumpang-tindih diantara kedua regulasi di atas cukup besar saat menentukan klasifikasi sebuah informasi sebagai rahasia negara atau bukan. Terutama apabila UU Rahasia Negara memberikan kewenangan yang cukup besar kepada pejabat pemerintah untuk menentukan apakah sebuah informasi dapat diklasifikasikan dalam rahasia negara.
Bahkan, adanya kategori informasi yang dikecualikan dalam UU Kebebasan Memperoleh Informasi membuat keberadaan UU Rahasia Negara menjadi tidak diperlukan lagi. Lebih bijak jika pembahasan mengenai kerahasiaan negara difokuskan untuk memperluas dan memperinci segala sesuatu yang terkait informasi yang dikecualikan. Dan itu tidak perlu membuat sebuah UU Rahasia Negara.
Penulis: Ahmad Faisol, peneliti di ISAI Jakarta, aktif dalam Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi.
Sunday, July 16, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment