Korupsi memang sudah menjadi penyakit kronis Bangsa Indonesia. Semua lini kehidupan tak luput dari serangan korupsi. Saking akutnya, penyakit korupsi yang diderita, lembaga seperti KPU pun ikut terjangkiti. Kasus terbaru adalah penangkapan anggota KPU Mulyana W Kusumah atas tuduhan penyuapan terhadap anggota BPK. Penangkapan ini semakin mengentalkan tuntutan untuk membongkar seluruh dugaan korupsi di KPU. Bahkan, mungkin karena sudah geregetan, Presiden Yudhoyono sampai memerintahkan untuk mengejar koruptor sekalipun sampai ke luar negeri.
Perintah presiden di atas tentu saja angin segar dalam upaya perang terhadap korupsi. Karena akan menjadi amunisi baru pemberantasan korupsi. Dapat dicatat di sini, dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Presiden Yudhoyono juga telah mengambil langkah-langkah serupa seperti menjebloskan para koruptor ke Nusakambangan dan kampanye “Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi”. Mungkin kita tidak perlu lagi meragukan komitmen presiden akan hal ini.
Namun, satu catatan yang dapat diberikan adalah langkah presiden dalam memberantas korupsi di atas masih pada tataran hilir. Langkah itu belum menyentuh sisi hulu atau akar persoalan korupsi itu sendiri. Dikhawatirkan, jika upaya pemerintah berhenti sampai di sini maka langkah-langkah yang telah dilakukan akan sia-sia belaka.
******
Salah satu faktor yang ditengarai sebagai akar membudayanya korupsi di negeri ini adalah ketertutupan praktek penyelenggaraan kekuasaan. Sejarah menunjukkan praktek penyelenggaraan kekuasaan negara di Indonesia telah menempatkan negara menjadi dirinya sendiri, lepas dari keterikatannya dengan masyarakat (state of its own). Praktek ini ditandai tidak adanya kekuatan yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena adanya struktur birokrasi yang tertutup, eksklusif dan proteksionis. Praktek seperti ini dijalankan melalui penciptaan mekanisme dan regulasi yang memungkinkan pemerintah mengisolir keterlibatan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga, publik hanya sedikit mengetahui mengenai kinerja birokrasi, lahirnya kebijakan, manajemen pengelolaan sumber daya publik, akuntabilitas pemerintahan dan sebagainya.
Masa pemerintahan Presiden Yudhoyono tidak terlepas dari praktek-praktek ini. Hal ini misalnya diperlihatkan oleh Mendagri yang mengeluarkan Instruksi Mendagri Nomor 7 Tahun 2004 tentang larangan kepada jajaran Depdagri untuk membuka rahasia negara. Kemudian klaim Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo bahwa informasi tentang skema pembagian jalur pendidikan formal menjadi jalur mandiri dan jalur standar, seperti yang tertuang dalam draf Rencana Strategis Depdiknas Tahun 2005-2009 adalah rahasia negara. Maka bagi media yang menyebarluaskan informasi itu bisa dikenai tuntutan hukum (Kompas, 14/4).
Bahkan pemerintah nampak sangat serius mendorong proses legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kerahasiaan Negara. Tidak ada yang aneh memang. Karena pelembagaan prinsip rahasia negara memang diperlukan oleh setiap negara termasuk yang liberal sekalipun. Terutama adanya potensi ancaman terhadap keselamatan negara apabila sebuah informasi dibuka. Term "rahasia negara" lazim diberlakukan pada informasi-informasi operasi militer, teknologi persenjataan, kegiatan diplomatik, kegiatan intelijen, kegiatan pengembangan kriptografi.
Namun merujuk pengalaman yang telah ada di berbagai negara proses perahasiaan informasi biasanya hanya didasarkan pada interpretasi subyektif pemerintah. Belum tentu klaim rahasia negara merujuk kepada informasi yang benar-benar dapat mengancam keselamatan negara. Lebih sering, klaim rahasia negara digunakan untuk melindungi kepentingan pemerintah semata. Pengalaman yang terjadi di Indonesia juga menggambarkan hal serupa. Pemerintahan Orde Baru memberikan pelajaran bagaimana klaim rahasia negara digunakan sedemikian rupa untuk menghapus dan melindungi jejak korupsi dan aib birokrasi.
Di sini rahasia negara yang bersifat politis (political secrecy) serta rahasia untuk kepentingan birokrasi (bureaucratic secrecy) dalam praktiknya jauh lebih dominan daripada rahasia negara yang murni (genuine national security secrecy). Dua pernyataan menteri pemerintahan Presiden Yudhoyono di atas dapat dimasukkan dalam domain ini.
*******
Oleh karena itu, untuk memberantas korupsi mutlak memerlukan perubahan kultur dari pemerintahan yang tertutup menjadi pemerintahan terbuka yang melibatkan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk itu, prasyarat yang diperlukan adalah penegakan prinsip-prinsip transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan pengakuan akan hak publik atas informasi. Karena melalui pengakuan atas penegakan prinsip-prinsip transparansi memberikan jaminan kepada warga negara untuk secara aktif melakukan proses pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga masyarakat dapat ikut mengontrol proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta memeriksa dan menguji akuntabilitas pejabat dan badan-badan publik.
Penegakan prinsip-prinsip transparansi tidaklah cukup diserahkan kepada niat baik pemerintah. Harus ada sebuah aturan tertulis yang dapat memaksa pejabat pemerintah untuk bersikap transparan. Salah satunya adalah aturan tertulis yang memaksa pejabat publik agar memberikan informasi publik baik ada permintaan dari masyarakat atau tidak. Karena kenyataan selama ini menunjukkan, ketidaktransparanan pemerintah selamai ini disebabkan tidak adanya regulasi yang dapat memaksa pejabat publik untuk membuka akses informasi kepada publik. Regulasi yang ada hanya memberikan pengakuan terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi tanpa memiliki kekuatan untuk memaksa pejabat publik untuk mengeluarkan informasi.
Dalam konteks ini, Presiden Yudhoyono seyogyanya lebih memprioritaskan pelembagaan prinsip-prinsip kebebasan informasi ketimbang pelembagaan prinsip-prinsip rahasia negara. Pengutamaan pelembagaan rahasia negara hanya akan menjadi celah bagi munculnya penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan negara. Klaim rahasia negara hanya akan menjadi tameng bagi praktik penyimpangan yang terjadi.
Selain itu bagi negara yang sedang sibuk dengan pemberantasan korupsi, pelembagaan prinsip rahasia negara dapat dikatakan kurang bijaksana. Sebab, justru akan menghambat upaya penciptaan kultur transparansi dalam pemerintahan. Padahal Presiden Yudhoyono selalu mengkampanyekan kultur dan sistem pemerintahan yang mendukung bagi perwujudan good and clean governance sebagai prasyarat pembentukan pemerintahan yang transparan.
Ahmad Faisol Aktivis Koalisi untuk Kebebasan Informasi
Check Mail Compose
Sunday, July 16, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
inilah yag sering terjadi, pemimpin yang diduga terlibat korupsi sering mencari dalih baik dalih agama maupun hukum untuk melindungi dirinya. Dalih agama misalnya....jangan membuka aib sesama saudara, dalih ...nanti pemerintahan terganggu. Padahal aib yang berhubungan dengan tindak pidana harus terus disuarakan dalam batas wajar untuk menjaga agar pemimpin tidak menyalahgunaan kekuasaan. Siapa lagi yang bisa mengontrol pemimpin, kalau semuanya bungkam ? legislatif bungkam, lsm bungkam, pers bungkam? hukum bungkam?
Post a Comment